Sosok 

Do Karim

Oleh: Sudirman | Pegawai pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumut.

Aceh sebagai daerah yang pernah menjadi pusat peradaban di Asia Tenggara banyak melahirkan berbagai ilmuan, ulamawan, dan sastrawan. Salah seorang di antaranya adalah Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Do Karim. Ia telah membesarkan nama Aceh melalui hasil karyanya di bidang sastra. Teuku Ibrahim Alfian menyebutkan, Do Karim berasal dari Keutapang Dua, Mukim VI, Sagi XXV Mukim, Aceh Besar.

Tidak diketahui secara pasti kapan ia lahir, tetapi Ali Hasjmy memperkirakan bahwa Do Karim lahir sebelum perang Aceh (1873) dan meninggal sebelum 1903. Alasannya, dalam Hikayat Perang Kompeuni yang dikarang oleh Do Karim tidak disebutkan kisah berakhir perang Aceh.

Penerus tradisi hikayat Do Karim adalah sastrawan Aceh yang fundamental, karena banyak mengarang hikayat-hikayat dan syair. Sebagai anak yang dibesarkan dalam kurun perjuangan, lewat berbagai karya sastranya, ia mengekspresikan kedalaman pengetahuan dan kecintaannya yang tinggi kepada agama dan bangsa dalam rangka terciptanya masyarakat Aceh yang aman dan sejahtera.

Selain itu, Do Karim juga sebagai sosok yang multidimensional, dalam artian ia sebagai anak manusia serbabisa. Berbekal kemampuannya menguasai bahasa daerah dengan baik, berbagai kegiatan dan aktivitas dapat ia lakukan. Ali Hasjmy menyebutkan bahwa Do Karim sebelumnya adalah seorang pengarah pertunjukan seudati dan kesenian perintang waktu sejenisnya, serta sebagai pembawa acara pada upacara-upacara adat. Ia sangat ahli dan mahir dalam berpidato dan pengetahuannya yang luas tentang bahasa daerah dalam bentuk prosa, puisi, dan pantun.

Oleh karena itu, sisi yang unik dari kesastrawanan Do Karim adalah ia mampu menyampaikan pesan-pesan moral dalam bahasa yang komunikatif dengan masyarakat Aceh, yaitu lewat bahasa sastra, berupa syair, dan hikayat.

Kecintaan Do Karim terhadap tanah Aceh dan Islam demikian besar. Salah satu hikayatnya yang sarat dengan pesan-pesan moral adalah hikayat yang berjudul “Prang Kompeuni”. Dari judulnya terlihat bahwa hikayat ini berbicara tentang tindakan-tindakan kepahlawanan rakyat Aceh dalam perlawanan terhadap Belanda.

Pembunuhan secara kejam, pembakaran kampung, penghancuran sumber makanan, dan perampokan barang di rumah-rumah rakyat yang dilawan oleh para wanita dengan meludahi muka mereka dengan air sirih. Do Karim dalam Hikayat Prang Kompeuni melukiskan rakyat menyelamatkan diri ke gunung karena kampung mereka dibakar oleh pasukan Belanda.

Semua mengungsi penduduk kampung, lari ke gunung pria wanita
Kaum wanita lelah sekali, yang jatuh tergelincir tak terkira
“Duhai anak, muda rupawan, tunggulah, sayang akan ibunda!”
“Tak mungkin menunggu wahai Bunda, suami sudah jauh hala”
Begitulah yang tua jalan beringsut, ada yang terjerembab ke dalam paya
Waktu lohor panglima undur, Belanda membakar kampung Lam Ara
Tujuh hari dibakar terus, rakyat mengungsi ke gunung semua
Rakyat terduduk berkelompok-kelompok, di Gunung Batok pria wanita
Mereka terduduk kebingungan, hendak menumpang pada siapa
Masing-masing dengan keluarganya, hanya sedu-sedan terdengar nyata
“Duhai kakanda gantungan kami, ke mana lari kita semua?”
“Kita mengungsi ke jurusan barat, bermufakat dengan bunda”
Ada yang ke timur atau ke barat, bercerai-berai anak dan bunda

Di tempat lain Do Karim melukiskan tindakan Marsose yang bertugas mengawasi pasar di kawasan penduduk. Orang yang keluar-masuk pasar harus mempunyai surat keterangan dan tidak boleh membeli sesuatu dalam jumlah yang banyak, karena dikira akan dijual lagi kepada orang yang berada di luar wilayah penduduk tersebut. Namun, masih ada juga yang berusaha membeli dalam jumlah yang lebih banyak, meskipun mengetahui jika kedapatan mereka akan ditindak dengan kejam. Do Karim mengisahkan, sebagai berikut.

Semufakat kepala kampung, mereka berhimpun pada Tuan Besar
Mereka datang berbondong-bondong, menghadap penguasa Belanda
“Mohon perhatian Tuan Besar, sehelai sarung mengapa disita?”
“Kularang yang membeli banyak, takut kau jual pada orang luar
Kalau sehelai sarung, sedikit tembakau, untuk keperluan dapat saja
Hulubalang lima gelondong kain, surat keterangan harus ada
Awas jika tak ada surat, kuikat masuk penjara.”
Ada yang lilitkan kain di perut, supaya dapat mengelabui mata
Jika ketahuan pada pengawas, takkan lepas, ditahan segera
Barang dan orang dikumpulkan, digelandang ke kantor segera
Di sana lalu diperiksa, ditetapkan hukuman kesalahannya
Polisi menariknya cepat-cepat, ke dalam tutupan lalu dibawa
Ada yang dihukum lima hari, yang tiga bulan juga ada
Ingat-ingatlah wahai rekan, akan Tuhan Maha Kuasa
Begitulah hukum kafir, akhir-akhirnya pasti Anda rasa
Penduduk negeri sakit hati, pada Marsose dendam membara
Walau sehelai kain didapat, itu pun direbut dengan segera
Barang dirampas orang dipukul, ada juga yang ditampar-tampar
Jika tawanan tak cepat berjalan, sepak dan tendang yang bicara
Fi’il Belanda sungguh jahat, ada yang dilibas pada muka
Orang Aceh sakit hati, memata-matai Marsose celaka
Jika hari sudah malam, mereka gentayangan ke mana-mana

Dalam masyarakat Aceh, syair pernah menduduki posisi penting sebagai bahasa pendidikan. Sebagian besar ulama Aceh tempo dulu menyampaikan pesan-pesan agama kepada muridnya, baik secara lisan maupun tulisan, menggunakan bahasa syair. Tampaknya, Do Karim begitu memahami kondisi sosial masyarakat Aceh seperti ini, sehingga ia menggunakan bahasa syair sebagai media pembelajaran masyarakat dan media penyampaian pesan-pesan moral.

Syair, terutama dalam bentuk hikayat pernah menjadi salah satu faktor penting dalam membentuk jiwa, sikap, dan pola tingkah laku masyarakat Aceh. Namun, posisi hikayat tampaknya sudah begitu terdesak. Bahan-bahan bacaan baru, berupa roman, komik, surat kabar, majalah, media elektronik, serta jenis-jenis hiburan lain sudah merampas waktu yang biasanya dipakai guna menikmati syair-syair yang didendangkan si pembawa kisah sebuah hikayat. Peranan hikayat sebagai salah satu sumber nilai masyarakat sudah semakin menipis.

Untuk itu, kita berharap di Aceh semakin banyak lahirnya sastrawan sebagaimana halnya Do Karim. Do Karim telah memberikan sesuatu kepada kita melalui perjalanan hidupnya yang penuh dengan nilai-nilai edukatif dan sarat dengan pesan-pesan moral. Dapatkah kisah Do Karim dalam pergumulan hidupnya untuk mewujudkan ide, aktivitas, dan karya yang ia miliki tersebut, menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk berkarya.

* Penulis adalah PNS pada Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh-Sumut.
E-mail: dirmanaceh@ymail.com
—-
Tulisan ini dikutip dari Serambi Indonesia, Minggu, 10 Maret 2013.

Berita Terkait

Leave a Comment