Agenda 

Diskusi Tentang Kebijakan Pungutan Supporting Fund CPO

Menko Perekonomian semasa Sofyan Djalil dan Menteri Pertanian dan Perkebunan setahun lalu merancang kebijakan pungutan Supporting Fund CPO sebesar 50 US dollar yang diambil dari setiap 1 ton CPO yang akan diekspor. Dalam rapat koordinasi antara pemerintah dan pengusaha terkait merancang penggunaan biofuel sebesar 15 persen mulai April tahun 2015.

Opsi pencampuran biofuel dengan solar untuk mendorong pemanfaatan energi alternatif ini dikhawatirkan akan meningkatkan harga eceran solar dan membebani belanja subsidi, terutama bahan bakar nabati, karena tidak dianggarkan dalam APBN.

Penerapan biofuel ini bisa menyebabkan harga solar bersubsidi lebih tinggi Rp675 per liter. Dengan penyaluran solar bersubsidi pada 2015 sebesar 17 juta kiloliter, maka kebutuhan dana untuk menutupi selisih Rp675 per liter mencapai sekitar Rp11 triliun.

Untuk itu dilakukan pungutan 50 dolar AS per ton ini dikenakan sebagai subsidi kepada para pengusaha biodiesel yang juga pemilik perkebunan sawit 4 besar di Indonesia serta insentif untuk mendorong pengembangan industri kelapa sawit, tanpa memberikan beban tambahan bagi APBN secara keseluruhan.

Diduga kebijakan yang diusulkan tersebut cuma akal-akalan mereka (4 pengusaha besar sawit) tentang perlunya dibuat peraturan pungutan ekport CPO yang bukan masuk kategori pungutan pajak yang masuk ke Departemen pajak. Tetapi dihimpun di Badan Layanan Umum dimana mereka punya hak menempatkan wakilnya untuk duduk di BLU yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Karena ternyata dana yang dihimpun dari pungutan ekport CPO tersebut akan disalurkan lebih banyak untuk subsidi produsen biodiesel dari minyak CPO yang mana ke empat group bisnis tersebut lah yang paling besar memproduksi biodiesel dan paling besar memiliki perkebunan di Indonesia.

Ini artinya sama saja kebijakan pungutan Ekport CPO yang sudah dibuat peraturan pemerintahnya yaitu lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Perkebunan Kelapa Sawit lebih menguntungkan empat kelompok pengusaha sawit itu.

Kebijakan pungutan Ekport CPO tersebut berdampak pada penurunan pendapatan dan kemampuan pembayaran Kredit para Petani Plasma Sawit Dan Petani sawit Mandiri. Skenario lahirnya PP Penghimpunan dana perkebunan dari eksport CPO dipandang merupakan cara perusahaan perusahaan pemilik kebun sawit terbesar untuk menguasai kebun kebun sawit milik Petani Plasma dan Mandiri .

Sebab, dengan dibebankannya pungutan ekport CPO sebesar 50 USD maka pemilik Pabrik Kelapa Sawit akan membebankan pada harga beli Tandan Buah Segar Sawit( TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun kebun milik Petani .

Dengan pungutan ekspor CPO sebesar USD $50 per ton dibebankan pada TBS Petani yang memiliki kebun sawit berumur 5 tahun ke atas, maka pendapatan petani plasma sawit sebesar 16 ton TBS /5 ton (untuk memproduksi 1 ton CPO) menghasilkan 3,2 ton CPO oleh Pabrik Kelapa Sawit. Dan dibebani pungutan ekspor CPO sebesar 3,2 dikalikan 50 USD yaitu 160 USD.

Nilai 160 USD dollar atau Rp2.240.000 ini mengakibatkan pendapatan petani plasma sawit hanya Rp22.400.000 – Rp2.240.000 = Rp20.160.000 per tahun atau rata-rata per bulannya sebesar Rp1.680.000. Sehingga dari pendapatan kotor petani sawit sebesar Rp1.680.000 per 2 hektar kebun akan dipotong 30 persen guna membayar Kredit Bank untuk biaya pembangunan kebun.

Petani lalu dipotong lagi biaya upah untuk pengurus kebun yang berlaku sekarang ini dimulai sekitar Rp500.000 per bulannya dan perawatan sebesar Rp300.000 per 2 hektar kebun. Jadi penghasilan petani sawit hanya Rp1.680.000 – Rp504.000 – Rp500.000 – Rp300.000 = Rp 376.000.

Dari hitungan tersebut, maka pendapatan bersih petani plasma hanya mendapatkan sebesar 376 ribu rupiah setiap bulannya. Tentu saja pendapatan sebesar ini sudah tidak dapat memenuhi kehidupan keluarga petani plasma.

Agar masalahnya menjadi lebih tranparan dan ditemukan saran dan solusi yang lebih adil maka kami Institut Soekarno Hatta (ISH) bermaksud menggelar diskusi dengan topik: “PUNGUTAN EKSPOR 50 US$/TON, MENCEKIK PETANI SAWIT. MODUS BARU MENGUASAI LAHAN PETANI MISKIN DAN PERAMPOKAN UANG RAKYAT KECIL ATAS NAMA DANA KETAHANAN ENERGI?”.

Dengan ini kami mengundang Anda utk hadir pada diskusi publik yang diselenggarakan pada:

Hari : Selasa, 26 JANUARI 2016
Waktu : Pukul 13.30
Tempat : PEMPEKITA, Jalan Tebet Timur Dalam Raya 43 Jakarta Selatan.

NARA SUMBER
1. VIVA YOGA MAULADI (Anggota DPR RI, Wakil Ketua Komisi IV)
2. DR. IR. BAYU KRISNAMURTHI (Direktur Utama BLU CPO FUND)*)
3.DR. FADHIL HASAN (Ketua Umum GAPPKI)
4.BARTHOLOMEUS ANIKUS (Ketua Umum CPO WATCH)
5.DR.HMS KABAN (Menteri Kehutanan 2004-2009).
6.DECKY NATALIS PIGAI (KOMNAS HAM)
7.TUHU BANGUN (Ketua Umum FSPBUN)
8.M.A.MUHAMMADIYAH(Ketua Umum APPKSI)

MODERATOR :
DINA NURUL FITRIA

Demikianlah undangan kami atas kehadiran Anda kami sampaikan terima kasih.

Hormat kami
INSTITUT SOEKARNO HATTA(ISH)

M.Hatta Taliwang
Direktur.

*) Dlm proses konfirmasi

Berita Terkait

Leave a Comment