Tabrani Yunis Ajari Menulis Seribu Perempuan
“Hari ini akan berlangsung pelatihan menulis kreatif bagi perempuan akar rumput dari 18 kabupaten di Aceh yang diselenggarakan oleh majalah Potret dan CCDE di WTC (Women Training Center) CCDE.
Semoga mereka menjadi penulis yang produktif kelak.” Begitu Tabrani Yunis menulis di status Facebook-nya. Hari itu, Senin lalu, Tabrani memang mengadakan pelatihan menulis bagi puluhan perempuan di Banda Aceh.
Hari-hari Tabrani memang tidak jauh dari pelatihan, salah satunya menulis. Lewat lembaga yang dipimpinnya, Center for Community Development and Education (CCDE), hingga kini ia telah memberikan pelatihan menulis untuk 1.000 orang. Sebanyak 700 orang adalah perempuan yang terdiri atas ibu rumah tangga dan remaja putri. “Selebihnya pelajar dan guru,” kata Tabrani.
Pesertanya selalu datang dari berbagai kabupaten di Aceh. Mereka dibiayai untuk hadir di Banda Aceh. Materi penulisan yang diberikan bermacam-macam, misalnya pelatihan menulis, termasuk penulisan sastra, seperti cerpen. Selain dia sendiri, Tabrani mengundang para penulis yang sesuai dengan bidangnya untuk memberikan materi dalam pelatihan-pelatihan itu.
Bidang keahlian Tabrani sendiri adalah penulisan artikel opini. Alumnus Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala ini dikenal sebagai pengamat pendidikan di Aceh. Menulis sejak 1989, ia telah menghasilkan lebih dari 400 artikel yang tersebar di berbagai media cetak daerah dan nasional.
Tabrani bercerita, kegiatan pelatihan menulis untuk perempuan itu dimulai pada akhir 2002. Jumlah peserta pertama sebanyak 25 orang. Itu berangkat dari keprihatinan terhadap kehidupan mereka. “Mereka dihadapkan dengan berbagai masalah, tetapi tidak ada media ekspresi untuk menyampaikan masalah tersebut,” ujarnya.
Ia juga mengamati, kebanyakan tulisan yang muncul di media massa ditulis laki-laki. “Ketika membaca surat kabar atau majalah, saya mencoba mencari tulisan perempuan, tapi sangat jarang didapat,” ia melanjutkan. Maka itu, ia mendorong mereka agar punya keberanian, kemampuan, dan keinginan menulis. “Karena dengan menulis, bisa menjadi obat bagi mereka. Sekaligus bisa memberikan keuntungan ekonomi.”
Sebagai tempat belajar dan menampung tulisan para perempuan itu, pada 2003, Tabrani menerbitkan majalah Potret. Majalah ini khusus mengangkat isu-isu perempuan. Kini 60-70 persen penulis di majalah ini adalah perempuan yang pernah dilatih menulis itu. Selebihnya adalah penulis dari kalangan aktivis, pengamat, dan akademisi.
“Saya memberi honor setiap tulisan mereka yang dimuat di Potret,” tuturnya. Ia mengaku cukup bahagia menerima tulisan para ibu itu. Mereka tidak harus mengetik, karena orang di kampung jarang yang punya mesin ketik apalagi komputer. “Mereka cukup menulis tangan,” tutur guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah atas di Banda Aceh ini.
Selain itu, sebagian kecil dari peserta pelatihan tersebut mulai menulis di media-media umum.
Tabrani lahir di Manggeng, Aceh, pada 10 Oktober 1962. Sebenarnya, bidang kegiatan lembaga yang dipimpinnya itu adalah pemberdayaan perempuan dan pendidikan. Nah, menulis adalah salah satu model pemberdayaan itu. Di luar menulis, ia juga mengadakan pelatihan-pelatihan kewirausahaan dan keterampilan bagi perempuan. Selain itu, ada pelatihan public speaking. “Sehingga perempuan-perempuan itu berani bicara di depan publik.”
Ia pun mengadakan diskusi bulanan bagi sejumlah guru menyangkut bagaimana cara mengajar yang menarik. Hal ini dilakukan untuk penguatan kapasitas guru, sehingga anak-anak semakin senang belajar. “Termasuk bagaimana membuat soal ujian yang tidak membuat pusing anak-anak,” ujarnya. Untuk itu semua, ia mendatangkan fasilitator ahli, antara lain dari Jakarta.
Berkaitan dengan bidang kegiatannya itu, Tabrani telah mengikuti tak kurang dari 46 kegiatan pelatihan, workshop, dan seminar tentang berbagai masalah, seperti masalah ekonomi, pemberdayaan, serta hak asasi manusia. Sebagian pelatihan itu diikuti di luar negeri, seperti Amerika Serikat, Melbourne (Australia), India, Swiss, Manila (Filipina), Thailand, Malaysia, Helsinki (Finlandia), dan Nepal.
Dengan menjalani beragam kegiatan itu, Tabrani mengaku nyaris tidak punya waktu untuk keluarga. “Saya jarang jalan-jalan sama keluarga, misalnya ke pantai.” Di rumah pun terkadang ia kerap bekerja, yakni mengedit tulisan-tulisan para perempuan itu untuk dimuat di majalahnya. “Tapi istri saya memahami itu.” [ MUSTAFA ISMAIL | SUMBER: KORAN TEMPO,RABU, 9 JUNI 2010]