Loria dan Sepatu Tua
Cerpen: Karya Nazar Shah Alam | @Pengkoisme |
KISAH ini telah disampaikan berulang kali dan turun temurun oleh puak tukang hikayat di Teluk Baraday. Namun kepada kami barulah diperdengarkan oleh seorang pedagang bernama Lah Sulet pada malam pertama Ramadhan. Kami kebetulan singgah sembari melihat-lihat apa yang bisa dicuri dari Kota Labuhan ini.
Persekongkolan Mujair mengeriap di sekeliling Lah Sulet segera setelah dia membuka kisahnya. Di langit, saat kisah ini diceritakan, bintang-bintang tersebar serupa ratusan manik di selendang penari. Anak bulan tampak seperti garis tipis melengkung sehingga tak kuasa memberi sedikit pun cahayanya.
Konon, kata Lah Sulet memulai kisahnya, di Teluk Baraday pernah hidup seorang lelaki tua yang sangat piawai menggesek biola. Di bangku di bawah batang mahoni yang jauh lebih tua dari dirinya, setiap senja lelaki itu menggesek biola warisan leluhurnya. Siapa pun yang melintas hanya bisa mengenali irama gesekan biola tersebut.Tapi, sampai kapan pun para pendengar tidak akan pernah bisa menebak lagu apa yang dimainkannya.
Kemudian tibalah Loria Sang Laksamana. Ia terdampar di Baraday pada suatu senja sunyi tatkala hujan lebat baru saja berhenti. Kapal Loria terhempas ditaklukkan badai. Keadaannya begitu teruk. Kapalnya porak-poranda. Teman-teman sepelayarannya telah dibenamkan ke dasar samudera.
Loria dipercaya sebagai juru selamat seperti telah termaktub dalam nubuat. Orang-orang melindunginya secara tak kasat mata. Mata setiap penduduk awas kepada Si Penggesek Biola yang konon dipercayai sebagai penyebab tertutupnya pintu laut dan pintu gunung bagi orang-orang yang hendak mengunjungi Baraday.
Konon, jika benar Loria juru selamat itu tapi dapat dibunuh oleh Si Penggesek Biola, niscaya alam akan tunduk di bawah suara biola lelaki tua itu. Kau bisa lihat batang-batang kayu rebah berlumut tebal di hadapan rumah-rumah, pohon-pohon yang subur dan besar, jamur-jamur yang subur, daun-daun melebar, batu-batu besar yang licin, sungai yang mengular dari gunung ke hampar pasir pantai, semua akan berada di bawah kekuasaannya.
Pada suatu malam, di antara suara gemuruh air sungai dan riuh doa katak, Loria memulai renungan. Dia hidupkan pelita di kamarnya. Dibukanya gorden berwarna cokelat tua sehingga dari jendela terlihat hamparan kelam di luar. Angin yang menyusup dari celah lubang angin membuat Loria menarik selimutnya dan merapatkan diri ke pelita yang semakin kuat menyala.
“Selama tidak ada yang bisa menebak lagu yang dimainkan lelaki tua itu, maka kampung ini akan terus menghilang dari pengetahuan orang-orang,” demikian disampaikan pemilik rumah singgah tempat Loria menginap. Wajah janda bertahi lalat sebesar biji kacang hijau di dahinya itu pias ketika berkata-kata.
“Bagaimana caranya orang-orang bisa lupa? Baraday kampung yang bagus. Ia ilham bagi penyair dan pemusik, rahmat bagi semua tamu,” ujar Loria. Tatapannya penuh arti.
“Tiap setahun, jumlah pendatang ke Baraday berkurang tiga orang. Kami menyadarinya sejak lima tahun silam. Ya, lima tahun silam kami kedatangan 15 tamu, setahun kemudian 12, setahun kemudian 9, setahun kemudian 6, tahun lalu 3, tapi…”
“Tahun ini aku datang sendirian!”
“Kami pikir sudah tidak ada. Mungkin kamu akan menjadi tamu terakhir di sini, Loria!” ucapan itu berakhir begitu saja. Ada kengerian yang tersisa di wajah janda tua tersebut. Mata bulatnya berisi genangan air.
Di hari lain, seorang petani menyarankan Loria segera pergi dari Baraday. Katanya, tamu-tamu yang hampir dapat menerka musik apa yang dimainkan Si Penggesek Biola akan menemui ajalnya. Tubuh mereka akan dibenamkan di pokok mahoni di depan rumah lelaki itu.
“Kamu harus pulang, Loria. Buruk jika kau mengetahui musik yang dimainkannya,” ucap lelaki kekar itu.
“Kalian tidak ada yang tahu?” tanya Loria. Mereka menggeleng.
“Aku sangsi kau juru selamat yang ditulis dalam nubuat yang kami percayakan,” timpal seorang ibu muda sembari terus meneteki anaknya.
“Tapi aku dikirim alam,” suara Loria meninggi.
“Tapi bukan utusan yang bisa memutus kutukan!” potong petani tadi.
Loria memandangi kelam. Apalah arti tempat pemakaman bagi seorang petualang? Mereka yang memilih tempat tinggal, hidup, dan bermakam tidak akan pernah bisa menjadi pengelana yang baik. Kepenasaranan adalah buku menarik yang meminta untuk terus dibuka lembarannya. Dan itu akan dilakukan Loria. Gigil sisa hujan dan pekat malam telah menciptakan sebuah keputusan.
***
Ia sama sekali tak melirik. Daun-daun kering yang telah gugur dan telah lama melekat di tanah kering diterbangkan angin ke wajahnya. Menyentuhnya dengan kejam, itu pun tidak dipedulikan. Ia terus menggesek biola. Sangat sendu. Seakan memanggil angin untuk menyapu badannya yang lusuh.
Loria merapat. Sama sekali lelaki tua itu tak terperanjat. Alam demikian asing. Seasing irama yang ditimbulkan biola lelaki itu. Alunannya menyusup hingga menggetarkan labirin telinga dan menyusup ke rongga-rongga. Mengalir ke sekujur tubuh. Menggetarkan. Semua terasa lain. Sungguh asing.
Loria merapat hendak menyentuh bahu Si Penggesek Biola. Cepat ia melesat. Melompat. Terkejut. Ditatapnya gadis berpakaian serba merah di hadapannya dengan ekor mata setajam serigala. Lamat dan tajam. Tubuh Loria menggigil. Bergetar hingga dirasakannya semua sendinya seperti saling berpamitan. Rambut panjang lelaki tua itu terkibas hingga tampak wajahnya yang tersingkap. Tua sekali. Telah berkerut kulitnya. Tatapannya begitu menakutkan. Hening sekali. Terdengar desah dedaunan. Pelan dan sepi.
“Kau sudah menemukannya?” tanyanya dengan nada menggertak. Suaranya serak.
“Sepatu Tua,” jawab Loria sedikit bergetar.
“Dari mana kau ketahui nama irama yang kumainkan itu?” suaranya pelan dan sedikit agak dipaksa melawan dahak yang sejak tadi tertahan. Dendang angin semakin jelas menyusup telinga. Mata mereka bertemu.
“Seorang perempuan yang selamat dari pembantaianmu menyampaikan padaku!”
“Kembalilah ke sungai. Ikuti alirnya. Di dekat muara sana ada seorang peternak kuda yang bisa memutuskan benar atau salah tebakanmu!”
“Bagaimana aku menandainya?”
“Wajahnya dipenuhi cambang tebal dan lebat, namun selalu terlihat kelelahan seperti petani lata. Badannya besar, suaranya tegas. Jika dia bicara, akan kau dengar logat asalnya. Jika dia diam, barangkali akan kau sedekahi dia. Dia memiliki seratus ekor kuda curian. Beberapa yang betina konon pernah dia gagahi. Cis. Sialan!” penjelasan serak lelaki itu sebenarnya belum tuntas. Namun ia sudah berbalik sembari bergumam seperti menyerapahi seseorang kemudian menutup pintu rumahnya dengan kasar.
Loria tidak lagi menunggu. Dia turun ke sisi sungai untuk memulai perjalanan menuju kampung lain di hilir. Dalam perjalanannya, dia bertemu dengan seorang pemancing. Dia berpikir, pemancing inilah yang dulu menyelamatkan dirinya ketika terdampar. Setelah itu dia bertemu dengan seorang gembala.
“Saranku, segera kembali ke rumahmu. Berhadapan dengan peternak kuda yang dikatakan lelaki tua sama saja dengan mencari kematian,” ucap peternak sapi yang tidak mau menyebutkan namanya.
“Akan kubunuh dia!” ancam Loria.
“Percuma. Dia tidak akan mati. Pulanglah!” bentak lelaki itu.
“Siapa dia?”
“Orang yang sama dengan yang menyuruhmu mencarinya,” gembala itu pergi. Di tepi sungai, Loria mematung di pinggir batu besar yang menjulang setinggi setengah batang pohon kelapa.
Bermalam-malam Loria duduk di atas batu itu. Lantun biola terdengar menyayat. Lebih lama, semakin dekat. Nada-nada lagu itu hampir menyerupai balada pengakuan seorang penyair kepada Tuhannya.
“Kau harus membunuhku atau sebaliknya!” bisik suara itu mengejutkan Loria dari lamunannya. Dia tak bisa lagi bergerak. Lelaki biola meloncat ke atas batu dengan sangat cepat dan menantang mata runcing daun bambu Loria. Mata tua lelaki itu bersinar seperti genang air ditimpa cahaya bulan. Angin menari-nari sehingga dengan mudah wajah tua itu terlihat sebab rambut panjangnya tersingkap berkali-kali.
Lelaki tua menghantam Loria dengan biolanya. Hantaman yang kuat sehingga membuat perempuan gagah tersebut tersuruk. Loria bangun dan meloncat tinggi, hujaman tangannya menyuruk ke dada lelaki tua. Begitu terus terjadi berkali-kali. Lelaki tua itu kewalahan, dia berlari membelah hutan. Loria mengejarnya sampai kemudian lelaki itu tersudut di bawah batang mahoni tua di hadapan rumahnya. Tidak diceritakan bagaimana akhir riwayat Si Penggesek Biola itu. Tidak pula ada satu catatan pun tentang apa yang terjadi pada Loria setelah pertempuran itu. Tidak ada tanda apa-apa di sana.
***
LAH Sulet menghentikan ceritanya. Dia meneguk kopi. Lalu mengisap selinting rokok daun nipah. Asap yang dikepulkannya membumbung ke udara dan lenyap begitu saja dalam kelam malam.
“Jika tidak ada isyarat apa-apa, bagaimana kisah ini bisa ada, Lah?” tanya Mahaguru yang sedari tadi terpekur mendengar kisah Lah Sulet.
“Sebenarnya ada,” kata Lah Sulet. “Tapi seperti termaktub dalam nubuat Teluk Baraday, dilarang bagi kami yang mengetahui hal ini menyampaikan kepada siapa pun yang tidak kami kenali. Kecuali kalian mau memperkenalkan diri.”
“Kami Persekongkolan Mujair. Lanun laut Bandar Tengah. Masih ingat, Lah Sulet?” ejek Pheng Ko sembari nyengir.
“Bagaimana mungkin aku lupa pada perompak kapalku sendiri?” Lah Sulet balik bertanya seraya tergelak. “Baiklah, nanti kita sambung lagi. Sekarang, mari tidur. Besok kalian harus mencuri lagi dan aku akan pulang ke Baraday,” tutup Lah Sulet. Persekongkolan Mujair berlalu. Hamdaniah, Wak Lahor, dan Shakir menatap kesal pada Lah Sulet. Sembari pulang ke tempat tidur, masing-masing mereka meninggalkan satu ketukan di kepala sang pencerita. Wak Lahor memberi ketukan sekuat tenaga.
* Nazar Shah Alam, pegiat di Komunitas Jeuneurob Banda Aceh
—
SUMBER: SERAMBI Indonesia, Minggu, 3 Agustus 2014
FOTO : FACEBOOK Nazar Shah Alam