Esai 

RAPBA 2016: Pork Barrel vs Asoe Idang

Oleh M. Munir Aziz |

DAFTAR isian proyek pembangunan untuk Aceh (DIPA) 2016 mencapai Rp 47 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan 9,3% dibandingkan DIPA 2015 sebesar Rp 43 triliun (Serambi, 19/12/2015). Ada hal yang menarik dan mencengangkan, ketika wartawan bertanya kepada Gubernur Aceh, DIPA 2016 sudah kita terima dari pemerintah pusat, seterusnya wartawan meminta tanggapan Gubernur kapan RAPBA 2016 bisa disahkan oleh DPRA? Gubernur menjawab, saat ini sedang dalam proses. Padahal Gubernur sendiri tahu, deadline-nya sudah habis pada awal Desember 2015, tetapi dengan nada penuh prihatin, Gubernur menjawab sedang dalam proses.

Sesungguhnya, aroma musibah ini sudah mulai terasa ketika terjadi deadlock pada proses rekonsiliasi kepentingan-kepentingan pada tahap penyusunan KUA dan PPAS 2016. Seminggu yang lalu, publik Aceh diperdengarkan suara letupan yang amat keras dari Gedung DPRA, sebaiknya RAPBA 2016 di-Pergub-kan saja (maksudnya, penetapan melalui Pergub, bukan melalui Perda atau Qanun Aceh). Tidak lama kemudian, pada 26 Desember 2015 (Serambi, 26/12/015) muncul lagi berita yang menghentak napas kita, bahwa Gubernur, Wagub, pimpinan DPRA bersama Komisi/Badan terkait, dipanggil oleh Kemendagri di Jakarta, terkait RAPBA 2016 yang gagal bahas itu.

Besarnya RAPBA 2016 diperkirakan sekitar Rp 11,594 triliun jika mengikuti pagu yang disampaikan oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) kepada DPRA. Banyak pihak memprediksi bahwa RAPBA 2016 akan mengalami musibah gagal bahas (gagal tanam). Sedangkan APBA 2015 yang lalu tertimpa musibah gagal panen, karena Kemendagri terpaksa melakukan amputasi serius terhadap organ-organ anggaran yang berbau aroma pork barrel dan atau asoe idang yang tidak jelas.

Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Gubernur dan DPRD (DPRA) sama-sama berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, kesepahaman, dan persetujuan tentang RAPBA, selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran baru. Artinya, RAPBA 2016 harus sudah disepakati oleh kedua pihak pada 30 November 2015 lalu. Sedangkan 21 Desember 2015, adalah batas pengesahan menjadi APBA 2016 setelah konsultasi (koreksi) oleh Kemendagri. Apabila DPRA dan Gubernur tidak bisa mencapai persetujuan bersama tentang RAPBA (terjadi deadlock) hingga batas waktu tersebut, maka kepada mereka dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang ada selama enam bulan.

Tidak mudah
Upaya penetapan RAPBA 2016 melalui peraturan kepala daerah yang dalam hal ini gubernur (Pergub), tentu tidak mudah. Pagu anggarannya tidak boleh lebih dari volume besarnya APBA 2015 lalu, dan disesuaikan pula dengan kebutuhan setiap bulan berdasarkan kondisi kinerja APBA tahun lalu pula. Selanjutnya, pengesahan dan penetapan RAPBA melalui Pergub juga tidak serta merta menjadi begitu saja. Mekanismenya adalah Rancangan Pergub dimaksud haruslah lebih dulu mendapat persetujuan dari Kemendagri. Kecuali untuk RAPBK kabupaten/kota, mekanismenya cukup dengan persetujuan Gubernur saja selaku wakil pemerintah pusat di daerah.

Pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) adalah dua saudara kembar yang sama-sama terlahirkan untuk menjadi azas dan pilar sistem politik demokrasi. Tanpa salah satu dari keduanya, pemerintahan tidak bisa diberi nama pemerintahan demokratis. Tetapi mengapa kemudian keduanya saling bertikai, sehingga menjadi beban tambahan bagi saudara kembar yang ketiga (yudikatif) untuk mengadili pertikaian itu. Sebabnya bermacam-macam. Pada umumnya, selalu berawal dari kesalahpahaman terhadap kewenangan, aturan main, dan sebagian lagi melampaui batas Tupoksi masing-masing.

Pada 1863-1870-an (kira-kira 152 tahun yang lalu) Kongres Amerika Serikat diguncang oleh skandal pork barrel yang sangat hina, merendahkan harga diri dan martabat bangsa Amerika. Seorang penulis terkenal, Edward Everett, menyindir dalam tulisannya tentang praktik perilaku buruk (tidak terpuji) yang dilakukan oleh oknum-oknum politisi anggota Kongres AS ketika itu. Mereka menjarah atau merampok uang publik (anggaran Negara) hanya untuk memuaskan hawa nafsu kepentingan sesaat. Mereka berbuat seperti budak-budak sedang merebut potongan-potongan daging busuk (kantong-kantong daging babi) yang sedang dibagi-bagikan.

Pemerintah AS ketika itu, menghina oknum-oknum senator atau anggota kongres yang berperilaku buruk seperti itu, dengan istilah politisi pork barrel (pemangsa sepotong daging babi). Situasi ini, juga melanda beberapa Negara lain seperti di Amerika Latin, dan Eropa. Tujuannya untuk balas jasa kepada konstituen atau Timses yang telah memilihnya pada pemilu lalu, dan untuk mempertahankan reputasinya agar terpilih lagi pada pemilu yang akan datang. Mereka tidak lagi mengurus hal-hal besar dan strategis untuk masa depan Negara dan bangsa, tetapi hanya menjadi agen-agen pork barrel di parlemen.

Di Filipina, pada masa pemerintahan Ferdinand Marcos, parlemen Filipina mendesak pemerintah agar menyediakan dana-dana tertentu untuk kepentingan anggota parlemen atau Senat Filipina. Dana ini juga beraroma pork barrel. Akibatnya, telah menimbulkan ketegangan yang luar biasa antara pemerintah dan parlemen yang disebabkan oleh beban anggaran yang sudah melebihi kemampuan anggaran negara. Karena gesekan semakin kuat, tanpa ada solusi (terjadi deadlock terus menerus) hingga akhirnya pada 1987 Presiden Marcos terpaksa membubarkan kongres atau parlemen Filipina. Seluruh praktik politik yang beraroma pork barrel pada era Presiden Marcos, kemudian dibongkar oleh Presiden Macapagal Arroyo, yang dikenal sebagai “mega skandal korupsi antara parlemen dan pemerintahan Marcos”.

Fenomena disharmoni
Indonesia juga tidak luput dari fenomena disharmoni itu. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno pernah membubarkan Konstituate karena dianggap tidak bisa menyelesaikan Rancangan UUD 1945. Peristiwa ini, lebih bernuansa ideologis. Sumber terjadinya deadlock bukan karena nafsu untuk menjarah uang. Tetapi lebih kepada persoalan nilai-nilai universal yang diperjuangkan secara amat gigih oleh masing-masing kekuatan politik. Nilai-nilai dimaksud adalah nilai yang bersumber dari agama, ideologi, dan kebudayaan bangsa dalam kerangka menata konsep NKRI ke depan.

Aceh pada hari ini, sudah waktunya untuk kembali kepada upaya bersama-sama membangun kembali nilai-nilai peradaban mulia yang lebih universal. Nuansa-nuansa politik modern di DPRA yang lebih mengkedapankan nilai-nilai moral, agama, ideologis, tekhnokratis, santun dan ilmiah harus semakin diperkuat untuk membendung gejala politik parokial dan politik paganisme. Konsep dan teori pembangunan politik mutakhir, dalam waktu dekat akan menggeser teori pembangunan yang lama, yang berorientasi kepada peningkatan income percapita sebagai standar kesejahteraan masyarakat. Teori mutakhir menawarkan asumsi dan indikator baru, yang berorientasi sejauh mana orang-orang merasa aman, nyaman, enak, dan bahagia tinggal di sini. Jika ini tidak ada, tidak bisa ditawarkan oleh kepemimpinan politik, maka gelombang perpecahan, disintegrasi sosial, dan pemekaran ke pemekaran wilayah terus akan terjadi.

Pada masa Orde Baru, pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Soeharto juga melakukan praktik politik yang tidak sehat terhadap parlemen Indonesia. Ketika itu, pihak eksekutif sangat kuat, yang didukung oleh Golkar, Korpri/birokrasi dan ABRI. Stigma negatif untuk DPR bermacam-macam, seperti DPR hanya sebagai “tukang stempel” atas segala kemauan pemerintah. Kinerja anggota DPR di bawah kinerja eksekutif, sehingga anggota DPR diberi stempel 4D (datang, duduk, diam, dan duit).

Dulu, praktik “pejarahan” uang rakyat itu ada juga yang menyebutnya dengan istilah kuet pade reudok. Terakhir, pada 2015, di Aceh sudah muncul lagi dua istilah yang seharusnya tidak perlu ada; APBA-P 2015 (APBA-Perubahan diplesetkan menjadi “APBA Pungoe”) dan ketika pada awal pembahasan KUA-PPAS untuk APBA 2016, muncul lagi istilah asoe idang untuk praktik dan perilaku yang sama. Asoe idang jauh lebih terhormat dan akrab dengan budaya kita, dari pada pork barrel dalam budaya asing.

Solusinya sangat sederhana. Reformasi telah mengembalikan tata negara kita pada suatu tatanan harmoni politik yang berimbang, adil dan sama-sama bermartabat. Semangat reformasi ingin mendorong sikap dan mentalitas kerja kita dengan sikap anti KKN dan anti dominasi, sambil membangun kesamaan derajat dalam kewenangan, hak dan kewajiban, tanggung jawab, serta peran serta yang patut dan wajar antara eksekutif dan legislatif. Aroma kisruh RAPBA 2016, salah satu sebabnya karena ada pihak yang ingin mengambil porsi kewenangan terlalu besar dalam mengatur Rp 11,594 triliun, sehingga mendepak hak dan kewenangan pihak lain yang juga dilindungi oleh UU. Wallahu’alam bisswab.

Drs. H.M. Munir Aziz, M.Pd., mantan anggota DPRA. Email: hmmuniraziz@gmail.com. Tulisan ini dikutip dari Serambi Indonesia, Rabu, 30 Desember 2015.

Berita Terkait

Leave a Comment