Sosok 

Farwiza Farhan Berkhidmat untuk Hutan Aceh

Terlahir dari keluarga berkecukupan, kuliah di luar negeri, dan pernah bekerja di perusahaan tambang di Australia tidak membuat Farwiza Farhan berpuas diri. Ketika melihat hutan Aceh, tanah kelahirannya, hancur, dia pun terpanggil untuk pulang.

Sebuah mobil dengan gardan ganda berhenti di jalan menanjak. Seorang perempuan dengan cekatan melompat dari bak belakang, lalu dia menerobos semak belukar mencari raungan gergaji mesin yang tengah menebang sawit. Perempuan itu adalah Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Pada akhir Desember 2015 itu, dia ikut memantau penebangan sawit ilegal yang masuk hutan lindung, Kawasan Ekosistem Leuser, di Desa Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang, Aceh.

Menetap di Banda Aceh, Farwiza harus menempuh perjalanan darat selama delapan jam untuk tiba di Aceh Tamiang. Dari pusat kota Tamiang itu, dia lantas melanjutkan perjalanan sekitar dua jam lagi untuk mencapai lokasi penebangan sawit tersebut. Ada rasa bahagia melihat perkebunan sawit yang ditanami di hutan lindung dimusnahkan.

”Fungsi hutan harus dikembalikan,” kata Farwiza.

Hari itu, lahan sawit ilegal seluas 1.070 hektar yang ditanam di dalam hutan lindung dimusnahkan. Pemilik hak guna usaha yang seharusnya membuka lahan di areal penggunaan lain malah membuka lahan di hutan lindung. Para pekerja lingkungan, seperti HAkA, Forum Konservasi Leuser, dan aktivis lingkungan lain, mendorong agar kebun itu dimusnahkan. Kerja mereka tidak sia-sia. Bupati Aceh Tamiang Hamdan Sati turun memimpin penebangan kebun sawit ilegal itu.

Pulang ke Aceh
Farwiza lahir di Banda Aceh. Orangtuanya tergolong berkecukupan. Dia tinggal di kompleks dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Sejak kecil, Farwiza sudah dekat dengan alam. Kebetulan di belakang rumahnya terdapat pohon jamblang. Saat musim jamblang tiba, dia dengan riang memanjat pohon untuk memetik buahnya.

Dulu, saat menjenguk neneknya di Medan, Sumatera Utara, dia sering singgah untuk mandi di sungai di Batee Iliek, Bireuen. Sungai itu memiliki air yang jernih. ”Itu cerita dulu. Kalau sekarang, sedikit saja hujan, air sungai menjadi keruh karena hutan di hulu sudah rusak,” ujar Farwiza saat berbincang dengan Kompas di Banda Aceh, Minggu (10/4).

Setelah menamatkan sekolah menengah atas di kampung halaman, Farwiza melanjutkan kuliah ke Universitas Sains Malaysia. Dia mengambil jurusan biologi kelautan. Di sana, dia belajar tentang sawit mulai dari sisi bisnis hingga kerusakan alam yang ditimbulkan. Dia juga kerap menyelam untuk meneliti terumbu karang.

”Saat itu, saya baru tersadar, ternyata terumbu karang yang ada di Pulau Weh, Sabang, jauh lebih indah daripada yang ada di Langkawi, Malaysia,” katanya.

Beberapa tahun kemudian, dia melanjutkan kuliah magister Jurusan Manajemen Lingkungan di University of Queensland, Brisbane, Australia. Sempat magang di salah satu perusahaan tambang di negeri kanguru itu, tetapi dia menolak saat ditawari kontrak permanen. Dia menyaksikan sendiri bagaimana pertambangan merusak lingkungan.

”Saya memilih pulang ke Aceh. Saya ingin terlibat dalam aksi konservasi lingkungan. Aceh memiliki kekayaan alam berupa hutan, satwa, dan laut yang indah,” tutur perempuan yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktor di Radboud Universiteit Nijmegen di Belanda itu.

Melalui Yayasan HAkA, Farwiza bersama aktivis lingkungan yang lain dan masyarakat melakukan advokasi terhadap kejahatan lingkungan di Aceh. HAkA didirikan pada 2012, beberapa bulan setelah Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) dibubarkan. Awalnya Farwiza bergabung di BPKEL.

HAkA fokus pada advokasi regulasi. Saat ini, Farwiza bersama delapan warga lewat Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) tengah menggugat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Perda tersebut tidak memasukkan Leuser sebagai kawasan strategis nasional.

Menurut Farwiza, perda tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Tak mudah
Farwiza sadar betul, melawan perusahaan dan pemerintah bukan perkara mudah. Namun, dia selalu optimistis bahwa gerakan yang dibangun bersama akan membuahkan hasil.

Perempuan itu lantas bercerita ketika warga menggugat PT Kalista Alam, perusahaan pembakar lahan gambut Rawa Tripa, Nagan Raya. Semula, warga pesimistis dapat mengalahkan perusahaan. Melalui jalan panjang perjuangan mereka berhasil. PT Kalista Alam divonis bersalah dan wajib membayar denda Rp 366 miliar. ”Yang kami perjuangkan ini bukan untuk pribadi, tetapi untuk Aceh dan generasi ke depan. Merusak hutan sama saja merusak rumah tempat kita tinggal,” katanya.

Menurut anak sulung dari lima bersaudara ini, hutan Aceh berperan besar bagi dunia. Dunia pun memberikan harapan besar agar hutan Aceh tetap terjaga. Bahkan, tokoh sekelas Leonardo DiCaprio ikut mengampanyekan penyelamatan hutan Aceh, terutama Leuser. Akhir Maret 2016, Farwiza menemani Leo mengunjungi Leuser dan pusat konservasi gajah di Aceh Timur. Perhatian dunia terhadap kelestarian hutan Aceh juga tecermin lewat masuknya Farwiza Farhan sebagai nomine penerima Whitley Award 2016, sebuah penghargaan internasional untuk pekerja lingkungan.

Meski demikian, Farwiza tetap merendah. Baginya, nominasi itu adalah bukti dunia membutuhkan Leuser. ”Jika dunia membutuhkan Leuser, mengapa kita orang Aceh justru menghilangkannya. Menghapus Leuser sama dengan mencabut identitas keacehan,” ujar Farwiza bersemangat. [ZULKARNAINI | SUMBER: KOMPAS, 15 April 2016]

FARWIZA FARHAN

LAHIR
Banda Aceh, 1 Mei 1986
PENDIDIKAN
S-1 Biologi Kelautan Universitas – Sains Malaysia
S-2 Manajemen Lingkungan University of Queensland, Brisbane, Australia
S-3 (sedang berjalan) Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan Radboud Universiteit Nijmegen, Belanda
AKTIVITAS
Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA)
PENGHARGAAN
Nomine penerima Whitley Award 2016

Berita Terkait

Leave a Comment