Klo Prip
Mustafa Ismail, pegiat kebudayaan, @musismail |
Di kampung saya, di Aceh, ada sebuah istilah yang sering digunakan untuk menyebut seseorang yang keras kepala, yakni klo prip. Klo dalam bahasa Aceh berarti tuli, sedangkan prip adalah peluit. Tuli peluit. Maksudnya, ditiup peluit sekencang apa pun di telinganya, ia tidak akan mendengar. Sekeras apa pun suara, ia tetap tak merespons.
Istilah klo prip digunakan karena tidak semua orang tuli itu tidak bisa mendengar. Ada orang tuli yang bisa mendengar kalau kita bicara di dekat. Ada orang tuli yang baru bisa mendengar ketika orang lain berteriak di telinganya. Namun ada juga orang yang pura-pura tuli karena pretensi tertentu. Istilahnya, peuklo-klo droe.
Namun, dalam konteks sosial, istilah klo prip maupun pura-pura tuli tidak hanya digunakan untuk menjelaskan seseorang yang tidak bisa mendengar, juga melihat, merasa, membaca, dan memahami. Misalnya, seseorang tahu bahwa korupsi itu melawan hukum tapi tetap dilakukan, itu klo prip.
Dalam dunia politik, kebijakan yang bertentangan dengan suara rakyat juga termasuk kategori ini. Rakyat menyuarakan A, namun pengelola negara melakukan B. Penyelenggara negara tidak mendengar suara rakyat. Politikus yang ketika berkampanye menebar janji muluk-muluk, namun saat duduk di kursi empuk pura-pura tak tahu soal janji-janji itu. Kepentingan lebih dominan.
Kisruh KPK versus Polri juga bisa menjadi contoh menarik tentang bagaimana suara rakyat kalah oleh politik kepentingan tersebut. Rakyat berharap KPK bisa berkonsentrasi menangani kasus-kasus korupsi, namun ternyata berbagai hambatan membuat konsentrasinya buyar. Mulai penetapan tersangka sejumlah pimpinan KPK, hingga penangkapan penyidiknya, yakni Novel Baswedan.
Sebenarnya, di kampung saya, perilaku klo prip biasa terjadi pada anak-anak muda, terutama di masa remaja. Jika menanjak usia dewasa, perilaku itu pelan-pelan hilang. Ini ada kaitannya dengan ketidakstabilan emosi. Para ahli psikologi menyebutkan persoalan emosi ini memang menjadi isu menarik saat seseorang berada pada masa remaja.
Remaja lebih banyak berpikir dengan perasaan (emosi), bukan dengan logika. Daniel Goleman, psikolog kontemporer dari Amerika Serikat, menyebutkan kecepatan pikiran emosional mengesampingkan pemikiran hati-hati dan analitis. Saat muncul nafsu, keseimbangan goyah sehingga pikiran emosional yang menguasai pikiran rasional.
Maka, orang yang sudah masuk kategori klo prip, atau setidak-tidaknya peuklo-klo droe, menjadi sangat berbahaya. Sebab, ia melakukan suatu tindakan lebih dengan emosi, bukan dengan pikiran rasional. Tindakan itu, selain bisa membahayakan orang lain, bisa merusak tatanan. Bahkan, ia bisa sengaja mengobrak-abrik tatanan. Ia tidak peduli sorotan orang lain atau masyarakat terhadap perilakunya.
Di kampung saya, orang klo prip atau peuklo-klo droe tidak akan dipercaya memegang amanah, misalnya menjadi ketua pemuda, karang taruna, apalagi dicalonkan sebagai keuchik (kepala desa). Sebab—itu tadi—mental mereka dianggap bermasalah. Jika sudah telanjur jadi, akan dibikin rapat kampung untuk menggantinya.
Maka itu, dalam konteks negara, jika ada aparat yang membangkang atau melawan suara rakyat, termasuk mengakali hukum untuk kepentingan diri dan kelompoknya, sudah selayaknya “dipensiun-dinikan”. Tidak perlu mempertahankan orang klo prip. *
SUMBER: Koran Tempo, 5 Mei 2015