Musim Fitnah dan Musim Mati Lampu
OLEH: Musmarwan Abdullah |
Tadi pagi saya dan tiga orang teman ngopi bersama di warung langganan dekat Alun-alun Kota Sigli. Kami duduk melingkari meja yang sama, tapi semua diam seribu bahasa. Masalahnya kami asyik dengan smartphon masing-masing.
Seorang teman yang kebetulan
smartphonnya tidak bisa dijalankan lantaran kehabisan baterai gara-gara listrik padam tadi malam, menatap keasyikan kami dengan wajah kesal. Lalu, saking kesalnya dia nekat mendobrak kevakuman itu dengan pertanyaan, “Apa arti hidup ini?”
Senyap. Tidak ada jawaban. Dia menggantikan pertanyaannya, “Seberapa konyol orang yang mengaitkan filsafat materialisme dengan nilai tukar rupia?”
Senyap. Tidak ada yang menanggapi. Semua terus asyik dengan HP-nya masing-masing. Dia menggantikan pertanyaannya, “Apa sikap kita terhadap komoditi ‘boh ite’k jruek’ untuk menjawab tantangan Masyarakat Ekonomi Asia?”
Senyap. Tak ada yang menjawab. Semuanya kian tenggelam ke layar sentuh HP-nya masing-masing. Dia menggantikan pertanyaannya, “Apa kelebihan Zakaria Saman sebagai calon Gubernur Aceh di Pilkada 2017?”
Serentak tiga wajah kami mendongak ke arahnya. Teman yang satu langsung menjawab, “Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.”
“Ah, kalau itu, Mualem dan Bang Wandi apa kurangnya?”
Teman yang satu lagi menjawab, “Sikapnya yang ramah-tamah serta berwibawa.”
“Ah, kalau itu, Doto Zaini dan Pak Tarmizi Karim apa kurangnya?”
Teman yang ketiga menjawab, “Kedekatannya dengan Teungku dan Ulama.”
“Ah, kalau itu, Doto Zaini, Mualem, Bang Wandi dan Pak Tarmizi apa kurangnya?”
“Baiklah, kami takluk, menyerah. Nah, sekarang menurutmu apa?” tanya saya.
“Keberaniannya mengatakan bahwa ini musim fitnah. Padahal ini ‘kan lagi musim hujan.”
“Ah!” seru kami serentak. “Tidak lucu!”
“Yaaa…, daripada semua asyik dengan HP masing-masing?” [FB-MA]