Cerpen 

Hari hari Aina

Cerpen | Zuliana Ibrahim |

Saban hari, waktu seakan kian mencekik Aina. Ia kerap kehilangan lolongan anjing di kala malam atau kehilangan lembab udara di waktu pagi. Rona wajahnya pucat buah pir. Ia memilih duduk dekat daun jendela, sendiri.

***
Gadis yang setia dengan rambut terurai itu jadi mabuk celotehan, juga sindiran. Meski begitu, ia tak pernah ingin menyalahkan takdir yang menampar hatinya. Ia lupakan saja rasa sakit yang ia terima, jadi sekadar bumbu dalam hidupnya. “Ai, bertemulah dengannya, sekali ini saja!” panas telinga Aina, tiap kali ada saja yang memintanya menemui yang sebenarnya tak ingin ia temui. Ia beranjak, menenggelamkan wajahnya di antara wajah-wajah yang penuh harap. Aina sudah memutuskan, tak mau lagi menemui pria yang kerap ia panggil lelaki beraroma mekar tersebut. Acapkali hanya mendengar nama yang sama, membuat Aina harus memotong langkahnya untuk menghindar.

Bagi Aina, ketika alasan jadi pembatas atas kehendak, ia akan lebih memilih untuk tak berkehendak. Ibarat sebuah janji hanya buat perih, jika tak mampu ditepati akan menumbuhkan tunas benci. Apalagi jika terus terulang kesekian kali, benci jadi kian ranum, seranum kembang yang bersandar di pagar tua berkarat.

Siang ini Aina pulang telat. Seperti biasa sepulang dari kantor, dia selalu membawa ikan mentah, sayur dan beberapa bumbu dapur. Ia memutuskan untuk menumis kangkung kesukaan ayah ibunya. Aina menuju dapur. Ia hendak mengolah sayur. Aina tertegun, ketika mendapati ada sepiring tumis kangkung dengan ikan mujahir goreng yang sudah terhidang di atas meja. Ibunya tersenyum, lagi-lagi Aina kecolongan, ibunya lebih dahulu mengambil tugasnya untuk memasak.

“Jangan lakukan lagi, Bu. Jangan ambil tugasku. Kumohon jangan ambil semua, apa-apa yang patut kulakukan atau apa yang kumiliki,” Aina cepat-cepat membungkam mulutnya. Ia jadi salah tingkah, wajahnya memancing heran ibunya.

“Kau kenapa, Ai? Kau marah? Ibu hanya memasak, tak lebih. Ibu pikir hari ini kau lembur lagi.”

Aina, tak bisa menahan gejolak batinnya, ia tiba-tiba meminta ibunya untuk memeluknya. Ia mulai merasakan pengaruh dari siar kabar tentang dirinya.

“Jodohkan Ai, Bu!” tiba-tiba ringan lidah Aina meminta pada ibunya.Sontak, ibunya terkejut bukan kepalang. Sejak dua bulan lalu -setelah kejadian itu- baru kali ini Aina akhirnya bersuara minta untuk dijodohkan. Benar saja, Aina dengan menyeka butir air mata di sepasang mata redupnya, seperti sudah tak mampu lagi untuk mengutarakan alasan.

“Beri tahu Ibu, kenapa kau ingin dijodohkan?”

“Ibu tahu, aku tak suka beralasan. Jangan tanya alasanku, aku hanya minta pada Ibu jodohkan aku,” Aina bersikeras. “Meski Ibu memaksamu?” ibu tak mau kalah. “Kumohon Bu, jangan paksa aku.” Udara tiba-tiba terasa lebih pahit. Aina ternyata lebih dari apa yang ibunya duga. Aina bukan gadis yang penuh cerita lagi. Aina, seperti dijejal oleh kenangannya sendiri.
* * *
Beberapa waktu lalu, Aina benar-benar tak mampu membendung hatinya untuk tak menerima maklumat Anhar yang berniat menemui orangtuanya. Sungguh kala itu bak cakrawala bertaburbunga, ia merasakan kelegaan, karena selama ini belum pernah bercerita mengenai Anhar pada ibunya. “Kau, ingin cerita? Kemarilah, mendekatlah!” ibunya tahu betul bahwa Aina kali ini benar-benar ingin terbuka.

“Lama Ibu menanti kau untuk mau bercerita, karena Ibu tak akan memaksamu jika kau memang tak ingin bercerita. Aku kenal betul putriku, ia gadis yang sangat jujur.” Aina, merasakan pipinya hangat diapit oleh dua telapak tangan ibunya.

“Aku malu untuk bercerita, Bu. Tetapi aku juga tak sanggup untuk merahasiakannya dari Ibu,” pipi Aina semakin terasa hangat, kali ini tampak merah tomat.Ada debar malu yang tak mampu ia tutupi. Ibu dengan sabar mendengarkan Aina, Aina dengan tawa yang sesekali menghiasi rautnya. Membuat ibunya sangat paham, bahwa hati Aina kini sudah diisi oleh seorang pemuda.

“Selama kau mengenalnya, kau percaya padanya?” ibu ingin meyakinkan hati Aina, Aina mengangguk mantap. Tak ada terbesit ragu sedikitpun tentang Anhar. Ibunya mengangguk, itu artinya ibunya akan bicarakan hal ini pada ayah Aina dan tinggal menunggu jawab, ia yakin ayahnya pun akan menerima.

Betapa Aina, semakin yakin kelengkapan dalam hidup akan segera dirangkul. Ia sungguh merasa bahagia tak terkira, kala mengetahui ayahnya juga tak merumitkan harapannya untuk bersanding dengan Anhar. “Putriku tak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya, aku sangat percaya padanya. Kali ini pun begitu, ia tak mungkin salah memilih pasangannya,” kalimat ayahnya kian membuat hati Aina tak terbatas rasa syukurnya. Segera ia pun meraih telepon genggam yang ada di atas meja rias, ia tak sabar menunggu besok. Ya, Anhar akan datang menemui orang tuanya.

Patut saja Ainameminta agar tak ada yang ditutup-tutupi. Sebab menurutnya sebagai awal yang baik dalam melangkah ke jenjang mahligai, haruslah berawal dari sebuah kejujuran, tetapi hal itu tak ia dapati dari Anhar. Semua persiapan sudah matang, ayah dan ibu Aina, sudah menunggu kedatangan Anhar. Namun kadung menunggu dengan praduga demi praduga, sampai akhirnya siluet senja pun menyeruak. Anhar tak juga tampak batang hidungnya.

Aina, dengan kecewa tak terperi. Menghubungi beberapa kali nomor telepon genggam Anhar, tak ada jawaban. Aina, berdiam di kamar dan meniarapkan airmatanya di bawah bantal. Maka sebulan sudah Anhar tak berkabar. Aina, sesak dadanya kala harus menelan cerita pahit yang dilemparkan Anhar padanya. Derit jendela kamar masih setia menemani lamunannya. Sejak kejadian itu, Aina tak pernah keluar rumah. Ia dicekik waktu, siang malam tak pernah jadi teman. Ia memilih sendiri, hanya sendiri.
***
“Aku mohon, Ai. Temui ia! sekali saja,” seseorang ingin menerbitkan iba di hati Aina. Aina pun bersikeras, ia tak akan mau memenuhi permintaan orang tersebut. Ia tak mau mengungkit apa yang sudah ia kubur, ia tak ingin teringat atau tepatnya ia takut untuk mengingat.

Di malam dengan kesetiaan pada sunyi,Aina menatap wajahnya di cermin. Lamat-lamat ia seperti melihat sesuatu yang tak pernah ia sadari selama ini. Ada gurat tak asing di sekitar pipi, mata serta lengkung alis yang sebagian tertutup oleh poninya. Aina, dengan mata yang menanak bening asin. Tak kuasa melihat wajahnya sendiri. Ia memilih mematikan saklar lampu kamarnya, berjibaku dengan gelap. Sunyi menjadi-jadi.

Aina, tak kuasa menahan dirinya. Semakin hari, ia bukannya menemukan pengganti, malah wajah Anhar seperti kian melekat erat saja di benaknya, ada gurat kemiripan yang begitu lekat antara mereka. Adakah benar Anhar adalah tulang rusuknya?

Belum juga ada tanda-tanda bahwa ibu akan segera menjodohkan Aina. Berulang kali Aina bertanya, maka hanya anggukan dan belaian lembut di kepala saja yang ia terima. Tak habis pikir,ia menghela nafas. Ia paham, mungkin belum ada yang benar-benar cocok untuk diperkenalkan padanya.

Sungguh, seandainya Aina mau menemui orang yang seharusnya ia temui. Maka, Aina pasti menemu jawab. Aina salah mengartikan kedekatannya dengan Anhar selama ini. Ah, andai Aina tahu kebenaran. Mungkin Aina akan menyayangi Anhar lebih dari apa yang ia rasa. Anhar memutuskan untuk kembali pulang ke Batam. Ibu angkatnya tiba-tiba meninggal dunia tanpa ada sebab penyakit. Ia buru-buru, hingga tak sempat pamit pada Aina.
“Ai, berikan kesempatan padanya untuk menemuimu,” lirih suara-suara itu masih saja terdengar dan Aina tak akan pernah mau. Memang salah Anhar, yang sebenarnya tak pernah jujur pada Aina. Anhar tak berani bertemu Aina karena khawatir Aina akan hilang muka jika tahu kebenaran yang ingin dia ungkap. Ia tahu, Aina jatuh hati padanya. Tetapi ia ingin sekali menemui orangtua Aina, itu karena rindu yang ingin ia cangkul dari lubuk hatinya. Rindu yang sudah lebih dari lima belas tahun tertanam. Anhar pun hanya mampu bertemu ayah ibunya diam-diam, sangat rahasia. Meski begitu ia juga rindu pada Aina. Oi, andai Aina tahu bahwa Anhar pernah hidup satu rahim dengannya. Rahim wanita tua mereka.

*Zuliana Ibrahim, mahasiswa pascasarjana Unsyiah, prodi MPBSI tahun 2015. Bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Beberapa karyanya pernah terbit di media cetak lokal dan nasional, serta termaktub dalam tiga belas buku antologi cerpen dan puisi.

Berita Terkait

Leave a Comment