Esai 

Memahami Karya Sastra Hikayat Aceh

Oleh Nab Bahany As

SECARA harfiah, jenis  kesusastraan yang berkembang di Aceh dapat dibagi dalam dua jenis utama, yaitu bentuk sastra tutur (lisan) dan sastra tulisan. Bentuk sastra lisan adalah sastra bersifat prosa (haba jameun) yang diceritakan masyarakat tentang berbagai peristiwa, baik mengenai peperangan, kisah asmara (roman) atau cerita-cerita nasehat lainnya. Model sastra tutur ini  dulunya pernah menyatu dengan hidup masyarakat Aceh, terutama bagi masyarakat di pedesaan.  Di setiap desa di Aceh dulu selalu ada satu-dua orang yang pandaii menceritakan kisah-kisah atau cerita haba jameun. Akan tapi, cerita-cerita haba jameun dalam bentuk sastra tutur sekarang hampir tak lagi ditemukan di desa-desa dalam masyarakat Aceh.

Kedua, karya sastra Aceh dalam bentuk tulisan. Jenis sastra ini  paling banyak  dijumpai adalah dalam bentuk hikayat. Malah hikayat ini telah membawa sastra Aceh pada puncak kebesaran kesusastraannya. Menurut Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, seorang sejarawan yang banyak meneliti sejarah dan kesusastraan Aceh, ia menggolongkan hikayat ini dalam dua pengertian, yaitu hikayat cerita sejarah dan hikayat bentuk kesesastraan melayu Aceh. Apa yang dijelaskan Hoesein Djajadiningrat ini memang kita jumpai dalam kenyataan bahwa karya sastra di Aceh dulu paling banyak ditulis dalam bentuk hikayat dengan menggunakan aksara Arab Melayu Jawi.

Bila dilihat dari isinya, hikayat Aceh dapat pula dibagi dalam beberapa bagian, antaranya hikayat agama, hikayat sejarah, hikayat jihad, dan hikayat roman (percintaan). Semua hikayat ini ada yang ditulis dalam bentuk prosa bahasa Melayu Pasai dan ada juga dalam bentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab Melayu Jawi (tulisan jawoe). Semua bentuk hikayat ini telah ikut memperkaya khasanah kesusastraan Aceh masa lalu, sehingga tidak sedikit bangsa luar yang menaruh perhatian terhadap kesusastraan Aceh. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadikan kesusastraan tradisional Aceh sebagai studi penelitian disertasinya.

Seorang putra Aceh yang pernah mengadakan penelitian tentang kesusastraan daerah-daerah di Nusantara, yaitu Prof. Aboebakar Atjeh, di akhir penelitiannya berkesimpulan, bahwa di antara daerah yang pernah dikunjungi di kepulauan Nusantara, menurut Prof. Aboebakar, Aceh adalah daerah paling kaya dengan kesusastraannya, terutama karya sastra bentuk hikayat.

Upaya menyelamatkan hikayat Aceh dulu juga pernah ditempuh Aboebakar Atjeh bersama Tgk. Tjeh. Mohd. Noerdin.  Dua sastrawan ini dulu pernah mentranslitkan 600 judul hikayat Aceh dari tulisan huruf Arab Melayu Jawi ke dalam huruf latin bahasa Aceh. Kemudian 600 judul hikayat tersebut menjadi milik Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan dibawa pulang ke Jakarta. Setelah Hoesein Djajadiningrat meninggal, sejumlah hikayat Aceh tersebut kemudian dibeli oleh Mr. Mohd. Yamin dan disimpan dalam perpustakaan pribadinya. Aboebakar Atjeh yang sangat menghargai kesusastraan daerahnya ketika itu berkali-kali mengusulkan pada Pemda Aceh agar 600 judul hikayat Aceh yang sudah disalin dalam huruf latin itu dapat dibeli kembali oleh Pemeritah Aceh untuk dibawa pulang ke Aceh dan diterbitkan kembali. Tapi usulan tersebut sama sekali tidak pernah mendapat tanggapan dari Pemda Aceh. Sampai sekarang kita  tidak tahu lagi ke mana rimbanya 600 karya hikayat Aceh itu.

Pada 1994,  saat saya berkerja sebagai wartawan di Jakarta  pernah mencoba menelusuri di mana keberdaan 600 judul hikayat Aceh yang hilang itu. Saya mendatangi beberapa perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi seni  budaya di Jakarta, baik Perpustakaan Nasional maupun di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (saat itu H.B. Jassin masih hidup). Beliau tercengang dan sangat menyayanngkan tentang sejarah 600 judul hikayat Aceh yang hilang itu. Sampai H.B. Jassin mengatakan saat itu akan mencari informasi untuk membantu menemukannya.  Apakah masih ada yang menyelamatkan atau sudah habis menjadi abu.

 

Bentuk Hikayat Aceh

Seperti telah disebutkan, hikayat merupakan cerita yang dikarang dalam bentuk prosa dan puisi, baik kisah sejarah maupun kisah-kisah roman percintaan. Hikayat Aceh memiliki ciri tersendiri, antara lain, hikayat Aceh di permulaan karangan selalu dimulai dengan menyebut “Nama Allah”, kemudian dilanjutkan dengan puja-puji kepada Tuhan, dan seterusnya dilengkapi dengan permintaan berkah dari Nabi-Nabi dan para aulia. Hal itu seperti kita temukan di awal karangan hikayat Putroe Gumbak Meueh, yang tidak diketahui siapa pengarangnya, diawal hikayat itu sang pengarang bersyair :

 

Wabihi nasta’inu billahi ‘ala

Nama Allah kalam yang suci

Ngon bismillah lon peuphon surat

Ngon berureukat kalam Rabbi

Lheuh nibaknyan Alhamdulillah

Lon pujoe Allah Tuhan nyang ghani

Bandum pujoe milek Tuhan

Ditanyoe tan ube pade.

Lheuh lon pojoe Allah nyang Ahad

Keu Muhammad Silaweut Nabi

Silaweut saleum keu Muhammad

Panghulee ummat dum barangri

Demikian juga dengan pertokohan,  totoh utama dalam hikayat Aceh biasanya selalu digambarkan sosok manusia yang takwa kepada Allah, berbudi luhur, berakhlah mulia dan berwatak pahlawan. Kalau tokoh itu dikisahkan dari sejak kecil, digambarkan sejak kanak–kanak sudah rajin mempelajari ilmu agama. Hal itu dapat dilihat dalam hikayat Putroe Gumbak Meuh yang menggambarkan tokoh utama Lila Bangguna kekasih Potroe Gumbak Meuh adalah sosok yang sangat menguasai ilmu agama Islam, seperti dilukiskan dalam syair Hikayat Protroe Gumbak Meuh di bawah ini.

 

Lheuh nyan neubeuet Quruan raya

Neumeuhija malam uroe

Lila Bangguna jeut le sigra

Nyankeuh raja nyang meubudoe

Neubeut mantek deungon ma’ani

That bukeuti raja nanggroe

Eleumee tasaof pih that ahli

Eleumee ladooni pih kasampoe

Apa yang terungkap dalam karya sastra hikayat Aceh tempo dulu, sebagaimana telah kita jelaskan, rasanya tak jauh beda dengan apa yang diungkapkan oleh hampir semua pengarang hikayat dalam buku antologi hikayat H. Harun Keuchik Leumiek ini. Hampir semua pengarang hikayat dalam buku ini memulai karangannya dengan lebih dulu mengucap puja-puji kepada Allah dan Rasulnya. Demikian pula dengan tokoh yang digambarkan oleh masing-masing perangarang dengan mengangkat H. Harun Keuchik Leumiek sebagai sosok tokoh yang menjadi objek cerita hikayat.

Para pengarang hikayat dalam buku antologi sastra hikayat Aceh ini menggambarkah tokoh Harun Keuchik Leumiek adalah hartawan yang dermawan.  Biasanya tokoh semacam itu kita temukan dalam karya sastra yang digambarkan sebagai tokoh fiktif, dengan segala tingkah laku, karakter, dan perangainya, serta pembawaannya yang sederhana. Meskipun sang tokoh itu seorang hartawan yang kaya raya. Semua itu digamparkan pengarang sebagai tokoh yang bijaksana untuk menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dalam membaca sebuah hikayat dari hasil sebuah karya sastra.

Tapi dalam sastra hikayat Aceh yang terkumpul dalam buku ini, tokoh Harun Keuchik Leumiek yang dihikayatkan bukanlah sosok tokoh fiktif, ia tokoh hartawan di alam nyata yang dapat dijadikan suri teladan dalam memanfaatkan kehartawanannya untuk saling membantu dan berbagi kepada orang yang membutuhkan. Karena kedermawanannya itu telah menjadikan Harun Keuchik Leumiek sebagai tokoh penting untuk diabadikan dalam sebuah  hikayat Aceh, untuk menjadi suri teladan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Sama halnya dengan karya sastra hikayat Aceh yang dikarang oleh sastrawan-sastrawan Aceh tempo dulu. Seperti  hikayat Malem Gadang, hikayat karangan ulama besar Tgk. Chik Pante Geulima (Meureudu) ini di dalamnya mengangkat Sultan Iskandar Muda (1607-1636) sebagai tokoh utama yang digambarkan pengarang sangat bijak dalam memimpin rakyatnya. Kebijakan itu juga dilukiskan saat Sultan Iskandar Muda hendak berperang mengusir Portugis di Malaka, hingga terjadi perpisahan antara Sultan dengan permaisurinya.  Kejadian itu dikisahkan Tgk. Chik Pante Geulima dalam hikayat Malem Dagang dengan lirik syair yang sangat menarik. Di saat Sultan Iskandar Muda hendak meninggalkan permaisurinya berangkat ke Malaka untuk berperang melawan Potugis, sang pengarang hikayat ini bersyair:

 

 

Ie mata ro that meualon

Ban ujeun tron di udara

Baro uroe nyoe tanyoe meupakat

Meusampe that putroe hina

Andak tuwanku nuebeurangkat

Neukeubah pat putroe hina

Meung hana mupat ulon neukeubah

Kareuna Allah han lonbri bungka

Pat tuanku ulon neukeubah

Daulat leupah jak prang malaka

Ampon tuanku daulat meukatoe

Lonmat di jaroe bek neubungka

Meung han meupat neukeubah kamoe

Akhe rogue po muekuta

Teuma neuseoot Meukuta Alam

Raja saliha ede raya

 

Gata lon peujok putroe bak Allah

Sinan lon keubah rok- rok masa

Gata lon peujok putroe bak Tuhan

Seujak awai judo lon gata

Hikayat Malem Dagang ini termasuk hikayat penting untuk dipahami, karena di dalamnya mengandung cerita-cerita sejarah, terutama sejarah masa Sultan Iskandar Muda sebagai fase sejarah puncak kejayaan kerajaan Aceh. Karena itu Dr. Cowan, bekas seorang kontelir Belanda di Aceh menjadikan hikayat Malem Dagang ini sebagai bahan studi disertasinya. Begitu juga hikayat Pocut Muhammad,  di dalamnya menceritakan sejarah raja–raja Aceh dan hikayat Prang Kompeni yang dikarang secara lisan, karena pengarangnya Do Karim tidak bisa membaca dan menulis. Bait-bait hikayat itu ia hafal di luar kepala yang syair-syairnya dapat membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.

Serta masih banyak lagi hikayat  lainnya yang bernilai sejarah dan kepahlawanan Seperti hikayat Prang Sabi  karangan Tgk. Chik Haji Muhammad Pante Kulu. Hikayat Prang Sabitermasuk karya sastra terbesar yang pernah dihasilkan dalam sejarah kesusastaraan dunia. Belum pernah ada karya sastra sehebat hikayat Prang Sabi yang berhasil untuk membangkitkan semangat jihad manusia seperti yang dihasilkan Tgk. Chik Pante Kulu.

Selain itu ada juga hikayat Aceh yang berisikan kisah pencintaan yang digolongkan dalam bentuk roman. Seperti  hikayat Malem Diwa, hikayat Iskandar Ali, hikayat Nun Parisi, hikayat Banta Beuransah, dan hikayat Putroe Gumbak Meuh yang dijadikan bahan disertasi oleh Dr. Ny Amshof dibatu Aboebakar Atjeh. Semua hikayat ini adalah hasil karangan sastrawan Aceh tempo dulu yang perlu dicari kembali untuk dilindungi dan dipelihara sebagai kekayaan khazanah budaya kesusastraan Aceh  untuk kepentingan  generasi Aceh sekarang dan yang akan datang.

 

Persajakan dalam Bahasa Aceh

Sajak atau syair adalah bahasa yang dipadatkan. Lain halnya  dengan prosa. Kalau prosa pengunaan bahasa tidak bisa lepas dengan kaidah-kaidah keindahan bahasanya. Sedangkan dalam sajak atau syair, bahasa yang digunakan bisa beubah-ubah dari bentuk suku katanya, dan setiap kata dalam sajak mengandung makna yang luas. Hal ini disebut  Lecentia Putica  atau izin kebebasan berbahasa bagi penyair atau pujangga.

Demikian juga sajak atau syair dalam bahasa Aceh, sajak dalam bahasa Aceh biasanya ditulis dalam bentuk berbuhu 16 suku kata, yang terdiri dari 4 baris. Setiap buhu terdiri dari 4 suku kata, dan pokok pembicaraan dalam satu bait syair Aceh biasanya jatuh pada baris ke 4. Sebab,  dalam persajakan bahasa Aceh harus terikat dengan santok dan pakhok harus jatuh di tengah–tengah suku kata, seperti yang terlihat dalam salah satu bait syair hikayat  Nun Parisi di bawah ini :

 

 

 

 

1                 2               3          4

Ohleuh  makeun pinah idang

5           6             7              8

Putroe tatang ngon ceurana

9           10        11         12

Putroe neuek  u  meuligoe

13         14           15         16

Kalon putroe dalam rugha

Sajak di atas jelas menunjukkan 16 buhu, dan pokok masalahnya  jatuh pada buhu 15 baris ke 4, yaitu pada kata “dalam”. Sedangkan kata pakhok atau santok dapat kita lihat pada baris ke 3 dan ke 4, yakni kata meuligoedan kata rugha. Jadi, persajakan dalam bahasa Aceh akan sangat tergantung keindahan bahasanya ketika pengarang telah mampu menempatkan buhu santokdan pakhok dalam setiap bait syair yang dikarangnya. Maka persajakan syair Aceh yang paling indah adalah persajakan berbuhu 16 dalam setiap bait syairnya. Dan ini tidak semua pengarang  syair Aceh dapat konsisten mempergunakan persajakan berbuhu 16, kecuali pengarang-pengarang yang sudah ahli dalam persajakan Aceh.

Menyelamatkan Kesusastraan Aceh

Agar kesusastraan Aceh tidak punah digilas zaman, perlu ada upaya dan tindakan yang harus ditempuh secara konkrit dan terencana untuk menyelamatkannya. Buku “Hikayat H. Harun Keuchik Leumiek” ini, pada hemat saya adalah buku antologi hikayat Aceh pertama yang perlu diinspirasikan untuk mengangkat tokoh-kotoh Aceh dalam antologi-antologi hikayat Aceh berikitnya, sebagai salah satu upaya membangkitkan kembali kesusastraan Aceh dalam masyarakat.

Setahu saya, dalam hampir tiga dasawarsa ini hanya baru ada dua buku yang mengangkat riwayat tokoh Aceh dalam bentuk hikayat Aceh, yaitu buku “Hikayat Ibrahim Hasan” Gubernur Aceh 1986-1993, yang dikarang oleh Nurman Syamhas (1995) dan buku Hukayat  H. Harun Keuchik Leumiek ini adalah tokoh Aceh kedua yang diangkat dalam sebuah hikayat dengan segala peran dan pengabdiannya terhadap Aceh.  Tarutama, H. Harun Keuchik Leumiek adalah sebagai tokoh penyalamat benda-benda budaya warisan sejarah Aceh. Bedanya, kalau hikayat tokoh Ibrahim Hasan ditulis secara peronal oleh seorang pengarang hikayat. Sementara hikayat tokoh H. Harun Keuchik Leumiek ditulis dalam antologi besama oleh pengaang-pengarang hikayat Aceh.

Meskipun kedua tokoh yang diangkat dalam hikayat Aceh ini, bebeda peran dalam bebuat untuk Aceh. Namun kedua tokoh tersebut adalah tokoh yang telah banyak berjasa untuk Aceh. Pekerjaan seperti yang dilakukan H. Harun Kechik Leumiek secara pribadi dalam menyelamatkan warisan benda-benda budaya benilai sejarah Aceh, adalah pekejaan yang sebenarnya harus dibiayai mahal oleh pemerintah, atas jasa-jasanya yang telah mengumpulkan dan menyelamatkan berbagai benda warisan sejarah budaya Aceh.

Atas jasa dan pengabdian itu, saya kira H. Harun Kechik Leumik sangat tidak berlebihan untuk diangkat ketokohannya untuk dihikayatkan dalam sebuah karya sastra hikayat Aceh, untuk menjadi inspirasi bagi generasi-generasi yang akan datang, bahwa di Aceh ada seorang tokoh yang telah sangat beejasa dalam menyelamatkan benda-benda budaya warisan sejarah Aceh yang patut dikenang sepanjang masa.

Oleh karena itu, kehadiran buku Hikayat H. Harun Keuchik Leumiek ini merupakan salah buku yang sangat berguna dalam menghidupkan kembali gairah kesusastraan lokal Aceh, yang dalam sejarahnya dulu Aceh memang gudangnya karya sasta, terutama dalam bentuk hikayat. Selain itu, kehadiran buku  ini juga akan membuat kita lebih mengenal sosok tokoh yang diangkat dalam buku hikayat ini. Baik perannya, pengabdiannya, kehartawanannya dan keluhurannya. Semua itu tersyair indah dalam buku ini. Semoga kehadiran buku hikayat ini bermanfaat bagi kita semua.

 

Banda Aceh, 10 Januari 2019

NAB BAHANY AS adalah budayawan, dan sejarawan Aceh. Banyak menulis esai dan kertas kerja yang dipresentasikan di berbagai forum seminar. Sarjana Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, lahir di Ulee Glee, Pidie Jaya, 1 Januari 1964.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait

Leave a Comment