ALA-Abas, Batang Terendam
OLEH: Herman RN
ALAKEMELUT politik pemekaran wilayah Aceh kembali mencuat. Kali ini isu ALA-Abas muncul dari ketua Forbes Aceh di DPR-RI, Nasir Djamil. Sebagian orang menganggap statemen Nasir sebagai sesuatu yang lucu atau sekadar sensasi politik semata. Pasalnya, isu ALA-Abas ini dimunculkan kembali setelah hilang setahun lebih.
Betapa lagi, statemen Nasir terkait hal ini baru keluar setelah kursi DPR-RI diisi oleh orang-orang baru. Tentu saja akan ada pertanyaan seumpama: kemana Nasir Djamil selama ini? Apa dia baru jaga teungeut atau memang sedang mengigau dalam mimpi?
Begitulah politik: sulit ditebak, sukar disimpul. Selalu ada statemen lama yang didaur ulang oleh elite politik demi satu dan lain hal. Tak jarang para elite mengeluarkan statemen hari ini kontra dengan apa yang pernah ia ucapkan di hari lalu. Intinya, tetap rakyat yang jadi bahan jualan. Masalah ekonomi, pendidikan, dan berbagai hal yang dianggap tidak berimbang dan tak seimbang akan jadi alasan tuntutan pemekaran. Ketika hal itu dimunculkan secara luas kepada publik, diskusi mendirikan ‘benang basah’ tak dapat dihindari. Ujung-ujungnya nahi meuseng kata orang Gayo.
Menuntut pemekaran sama halnya memisahkan diri dari induk semang. Pemekaran tingkat kecamatan berarti memisahkan diri dari kecamatan sebelumnya. Pemekaran di tingkat kabupaten berarti memisahkan diri dari kabupaten induk. Pemekaran tingkat provinsi berarti memisahkan diri dari provinsi induk. Dengan demikian, memekaran kabupaten atau kecamatan berarti memperluas distrik dan subdistrik daerah Aceh. Namun, memekarkan Aceh menjadi beberapa bagian sama halnya dengan membelah Aceh menjadi lebih kecil. Maka, pemekaran ALA-Abas berarti memperkecil wilayah Aceh.
Alasan pemekaran sering muncul karena rasa ketidak-adilan. Rasa ketidak-adilan itu dikait-kaitkan dengan ketimpangan ekonomi dan pembangunan. Banyak orang lupa melihat alasan lain mengapa harus pisah atau bertahan, misal, alasan historis.
Dalam catatan sejarah terukir bahwa Aceh adalah sebuah bangsa yang kuat, tangguh, patriot. Singkatnya, ureueng Aceh bukan orang yang cengeng. Orang Aceh selalu bersatu. Orang Aceh tidak suka bercerai-berai hanya karena jatah kursi dan periuk nasi. Maka, kalau rasa ketidak-adilan memaksa orang menuntut pemekaran, mengapa tidak menuntut pemekaran Aceh dari Indonesia langsung? Jika tuntutan pemekaran hanya untuk membelah-belah Aceh menjadi beberapa keping, sama saja orang Aceh lupa pada sejarahnya, lupa tentang kesatuan Aceh sebagai sebuah wilayah dan sebagai sebuah identitas.
Sikap Gubernur
Mencermati ALA-Abas yang mulai diuungkit kembali oleh Forbes DPR-RI, gubernur sebagai kepala pemerintahan Aceh perlu mengambil sikap. Sejarah akan mencatat seorang pemimpin pada masanya. Katakanlah Ibrahim Hasan sebagai Gubernur Aceh diingat orang sebagai pemimpin yang mampu memberi keseimbangan pembangunan antara peisir utara dan selatan. Pesisir utara dijadikan sebagai wilayah perindustrian, pesisir selatan dijadikannya wilayah pertanian. Selanjutnya, Syamsuddin Mahmud mungkin bisa dikenang sebagai “bapak pemekaran daerah Aceh”. Pada masa dia, banyak kabupaten di Aceh yang mekar dari kabupaten induk, seperti Singkil dari Aceh Selatan, Simeulue dari Aceh Barat, Bireuen dari Aceh Utara, Langsa dari Aceh Timur, dan Lhokseumwae dari Aceh Utara.
Nah, bukan tidak mungkin pula Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf akan dikenang sebagai “Bapak Pemekaran Aceh” bila Provinsi ALA dan Abas terwujud pada masa pemerintahan Zikir sekarang. Hal ini tentu menarik dicatat dalam sejarah riwayat Aceh Darussalam. Zaini akan disebut-sebut sebagai “Doto Pemekaran Aceh” jika tidak tegas terkait isu ALA-Abas ini. Apabila memang kesenjangan ekonomi dan pendidikan yang menjadi alasan pemekaran ALA-Abas, pemerintah Zaini harus mampu mengatasi kesenjangan tersebut. Lakukan pemerataan pembangunan, pendidikan, kesehatan, di seluruh kabupaten dalam provinsi Aceh. Buang jauh-jauh hasrat membangun daerah asal sendiri, karena jabatan 5 tahun itu tidak kekal. Jabatan strategis di pemerintahan jangan diisi mayoritas oleh “orang kampung” gubernur dan wagub semata. Menyisipkan satu-dua orang dari wilayah ALA dan Abas tidak cukup menutup alibi nepotisme kedaerahan.
Gebrakan Kepala Daerah
Selain itu, kepala daerah tingkat dua masing-masing harus memiliki gebrakan jitu. Jangan selalu bergantung pada provinsi yang kemudian jadi alasan “tidak adil”. Bupati setiap kabupaten harus mampu mandiri membangun daerah. Ada kapling yang memang wilayah kerja provinsi, tetapi tetap ada kapling yang bisa dilakukan oleh bupati dan wakil. Jika bupati dan wakilnya memang melempem, terlalu naif pula orang-orang menuntut pemekaran provinsi.
Ambil contoh Kabupaten Aceh Selatan, yang masuk dalam wilayah Abas. Sudah dua tahun kepemiminan Teuku Sama Indra dan Kamarsyah (SAKA), apa yang sudah mereka perbuat untuk pembangunan daerahnya? Jalan lintas Tapaktuan-Kotafajar memang sedang dibangun, tapi itu bukan proyek kabupaten. Lantas, pantaskah memvonis semata kesalahan provinsi tatkala Aceh Selatan semakin tertinggal dari kabupaten lain?
Hampir semua kabupaten di Aceh punya perguruan tinggi. Terkadang, mereka punya perguruan tinggi negeri dan swasta. Takengon punya STAIN Gajah Putih, Bener Meriah dan Gayo Lues punya Unsyiah kampus B. Itu di lokasi ALA. Demikian pula di wilayah Abas, Meulaboh punya UTU dan STAIN Teungku Dirundeng, kedunya sudah negeri. Di samping itu, Meulaboh juga punya STKIP Bina Bangsa. Nah, Aceh Selatan punya apa? Politeknik yang satu-satunya itu saja tak sanggup dibenahi oleh Pemkab. Sampai sekarang masih berselemak masalah, baik soal gaji pengajar, pengelolaan kampus, dan proses belajar-mengajarnya. Padahal, membangun suatu daerah harus dimulai dengan pembangunan institusi pendidikan. Di lembaga pendidikanlah karakter regenerasi dibina sehingga lahir orang-orang yang mampu membangun daerah. Jangankan membangun institusi pendidikan yang mampu bersaing, dana beasiswa bagi seluruh mahasiswa Aceh Selatan kini ditiadakan oleh bupati. Apakah kebijakan seperti ini perlu dipertahakan untuk memekarkan provinsi Abas?
Hemat saya bukan Abas yang harus didirikan, tapi bagaimana kabupaten-kabupaten di wilayah peisisir barat selatan Aceh itu mampu bersaing dengan daerah bahkan provinsi lain. Jika seorang bupati tidak sanggup mengelola daerahnya, mekarkan saja kabupaten tersebut. Misalkan Aceh Selatan, mekarkan saja wilayah Kluet Raya menjadi sebuah Pemerintahan Kota (Pemko).
Memekarkan daerah Aceh berarti memperbanyak wilayah, sedangkan memekarkan provinsi Aceh memperkecil wilayah. Daripada membelah Aceh, bukankah lebih baik membelah daerah sebab kepala daerah hanya meleumpem? Maka, cukup sudah mengungkit batang terendam bernama ALA-Abas. Biarkan Aceh utuh sebagai wilayah kesatuan Aceh Darussalam.
Herman RN, pengkhidmad sosial budaya, cerpenis.