Budaya Sosok 

Penulis Novel Samudra Pasai Berdarah Gayo

DARI namanya bisa dipastikan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kaitan dengan Gayo, meski nama tersebut belum begitu akrap dalam dunia kepenulisan di Gayo dan Aceh umumnya. Tetapi sesungguhnya ia sudah berkecipung cukup lama dalam dunia yang sama di tingkat nasional.

Kesehariannya sangat sederhana, bahkan namanya dikenal di provinsi Aceh setelah kualitas dan kuantitas karya-karyanya meluas. Dengan kata lain, ia dikenal sebagai putra Serambi Mekah setelah ia sendiri berdiri di atas kaki sendiri sebagai seorang lelaki yang tergolong sukses. Secara khusus saya mengatakan bahwa Putra Gara adalah lelaki kreatif dan ulet yang patut dikenal dan ditauladani bagi mereka yang mencintai sebuah prestasi dalam dunia kepenulisan dewasa ini.
Putra Gara mengenalkan namanya ke daerah leluhurnya dengan karya, bukan dengan sekedar kecintaan dangkal, romantisme picisan atau tawaran konsep kosong untuk sebuah perubahan dan pembangunan daerah kelahirannya seperti sebagian besar kaum urban. Fakta ini dapat kita telusuri dari rekam jejak dan kreativitas Putra Gara di luar Aceh. Bahkan saya sendiri mengenal Putra Gara pertama kali bukan dengan berjabat tangan lalu menyebut nama dan alamat serta daerah asal, bertemu dalam sebuah acara khusus dengan sajian berbagai menu di atas meja makan, ngobrol ngalor ngidul, curhat dan explorer diri lalu memasang kuda-kuda idealisme dan wacana-wacana cet langit. Tetapi saya dipertemukan dengan lelaki “langka” ini melalui sebuah karya, karya fenomenal Putra Gara yang mengangkat sisi sejarah/peradaban Aceh ke dalam sebuah buku berbentuk novel yang berjudul “Samudra Pasai”.
Pikirku, inilah pemuda yang lahir dan dilahirkan untuk berkarya. Kenal dan dikenalkan dengan karya. Mengabdi dan berbakti dengan karya. Bahkan kenal dan bersahabat dengan karya. Karya, adalah amal yang dapat bermanfaat secara luas bagi kehidupan di dunia dan setelahnya, di dalam dan di luar diri pengkarya, selagi hidup dan setelah matinya sang pengkarya. Karena karya dapat berbentuk apa saja, karya adalah kata lain untuk menyebut kata “ibadah” dan salah satunya adalah karya tulis.

Lalu siapakah Putra Gara?
Saya sendiri belum begitu mengenal lebih dalam tentang kehidupan keseharian “Sahabat Jauh” ini. Kurang urgen dibanding kreativitas dan sejarah hidupnya yang inspiratif. Tetapi bagaimanakah proses kreatifnya berjalan? Pertanyaan ini barangkali yang penting untuk dibagi, untuk menelusuri jejak perjalanan seorang sahabat yang berkarya dan hidup dengan berkarya dan karya.
Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Putra Gara sudah aktif membuat kartun untuk mengisi halaman koran-koran mingguan di Jakarta. Dari honorarium kegiatan melukis kartun inilah Gara, panggilan akrap Putra Gara, dapat bertahan hidup dan survife di ibu kota negara, Jakarta. Tidak hanya itu, ia juga menggeluti jenis seni lainnya, seperti seni lukis, seni sastra dan juga merambah ke dunia perfilman. Kesemua bidang seni ini dengan segala egendanya hingga saat ini masih terus digeluti oleh pria berkacamata berdarah Aceh-Gayo ini.
Sedangkan dalam dunia tulis menulis, Gara telah menggelutinya sejak di bangku SMP. Bahkan ia sudah menjadi wartawan freelance sejak di kelas 3 SMP, jurnalis muda. Ketika duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Putra Gara sudah aktif menulis di koran-koran mingguan terbitan Jakarta. Di antara media tersebut adalah Jayakarta, Sinar Pagi, Berita Yudha, Shimponi, Pelita, Swadesi dan majalah-majalah dengan segmen pembaca remaja, seperti majalah Hai, Kawanku, Anita Cemerlang, Gadis, Aneka, Kawanku, Amanah serta media-media yang lainnya.
Prestasi dan aktivitas yang “menghasilkan” ini terus berlanjut. Saat menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, Putra Gara dipercaya menduduki jabatan penting sebagai redaktur di sebuah majalah remaja. Dari capaian dan konsistensi skil ini iapun kerap diundang sebagai narasumber diberbagai kegiatan seminar, workshop dan pelatihan seputar dunia kepenulisan.
Untuk dunia sinematografi seperti film, Gara sudah mengenalnya sejak bergabung dengan Teater Suaka Budaya ketika ia masih di bangku SMP. Dari Teater Suaka Budaya inilah ia belajar tentang seni teater dan dunia keaktoran serta kepenulisan skenario. Ketika dunia televisi berkembang pesat, para anggota Teater Suaka pun banyak yang bekerja di stasiun-stasiun televisi swasta, sebagai anggota paling bungsu, tentu saja Gara sering dilibatkan dalam berbagai produksi materi acara siaran. Dari pengalaman ini selanjutnya Putra Gara juga mulai menulis skenario untuk sinetron dan film-film dokumentar. Dalam beberapa produksi, ia bukan saja bertindak sebagai penulis skenario, tetapi juga sekaligus bertindak sebagai sutradara.
Selain di teater Suaka Budaya, bakat kesenian Puta Gara juga di gembleng di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Gerajas)-Bulungan. Dari sanalah virus keseniannya menyebar keberbagai daya kreatifnya. Karena di Gerajas, dari mulai seni teater, seni tari, seni musik, seni lukis, seni sastra, dan berbagai jenis seni lainnya membaur jadi satu dalam berbagai kegiatan yang aktif pada tahun 90-an. Putra Gara yang waktu itu masih di bangku SMA sempat berkenalan dan berinteraksi dengan sejumlah tokoh. Di antaranya adalah budayawan Adhi M. Masardi, Teguh S.A (pengarang Ali Topan Anak Jalanan), Bastian Tito (pengarang Wiro Sableng), bergaul dengan anak-anak Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), yang waktu itu musisi dan penyanyi Iwan Fals pun berada di antaranya.
Hidup di rantau memang membuat Gara harus bekerja, dan pilihan satu-satunya adalah melalui aktivitas berkesenian dan menulis. Karena selain harus memikirkan sewa kontrakan, makan dan juga biaya sekolah. Akhirnya berkesenian yang telah mendarah daging dalam dirinya pun menjadi andalan untuk bertahan hidup. Ketika anak-anak seusia Gara masih asyik dengan permaianan dan keceriaan pergaulan remaja ABG, ia mempotensikan dan memaksimalkan potensi diri untuk terus berkarya dan berkarya. Dari proses dan hasil berkarya inilah Putra Gara dapat menghasilkan uang untuk makan, bayar kost dan tentu saja juga untuk membiayai sekolahnya sendiri. Dalam tahap ini Putra Gara telah berhasil membentuk diri sebagai manusia yang berkarya, karya yang menghidupinya juga karya yang memuluskannya menyelesaikan pendidikan.
Dalam dunia tulis menulis, Gara sudah menerbitkan beberapa buku karyanya, baik fiksi maupun non fiksi. Di antaranya adalah; serial buku anak “Dita Anak Baru”, “Dita Penyiar” (Mega Media/1997), “Nasyid Mania” (Studia Press/2000), “Banyak Jalan Menuju Kesempatan” (Studia Press/2001), kumpulan artikel “Wanita Di Persipangan Zaman” (Studia Press/2000), “Cinta Semusim” (Kumpulan Cerpen/2006/Cipta Media), “Di Bawah Hujan” (Kumpulan Cerpen/2006/Cipta Media), “Cinta Di Antara Dua Pria” (2009/Universal Nikko), “Suker” (2012/Universal Nikko), “Penulis Hebat Menciptakan Karakter” (Non Fiksi/Gramedia/2012).
Untuk tiga tahun belakangan ini, Gara tengah konsen menulis novel-novel sejarah. Yang sudah terbit di antaranya adalah; “Samudra Pasai” (Hikmah/Mizan Group), “Kesatria Khatulistiwa”, “Tahta Khatulistiwa” (Diva Press), “Nusantara Ras Segala Bangsa” (non fiksi/Noura/Mizan Group), “Warna Cinta Dyah Pitaloka”, “ACEH” (Kerajaan-Kerajaan yang Pernah Ada), “Perempuan Aceh” (Para Pejuang Tangguh Di Zamannya), “Laksamana Raja Di laut” (Senja Di Selat Malaka), “Putri Nahrisyah” (Kilau Di Negeri Pasai), “Putri Jeumpa” (Senja Di Djawa Dwipa) dan banyak lagi yang lainnya.
Saya sempat terkagum-kagum sekaligus “cemburu” dengan karya-karya Putra Gara yang menghiasi dunia perbukuan Indonesia. Terlebih ketika saya menerima statemen filosofi Putra Gara melalui mailinglist yang menyatakan bahwa:
“Gayo adalah ruhaniah buatku. Dari sanalah darah seni itu mengalir di antara embun pagi yang menetes di setiap pucuk pinus di pinggiran Danau Laut Tawar. Kerinduan akan kampung halaman selalu tertumpahkan dalam karya dan berkarya.
Keindahan Danau Laut Tawar adalah perjalanan hidupku, dan dataran tinggi Gayo adalah ruhaniku”.
Sebuah filosofi akan kerinduan dan kecintaan dari endapan rasa akan tanah “syurga” yang dirasakan Putra Gara, menjelma menjadi spirit sekaligus “kitab suci” inspirasi dalam mengisi hidup dengan karya. “Berkarya Untuk Gayo, Gayo Untuk Bangsa”, kata Putra Gara.
Eeemm, kita masih memerlukan lebih banyak lagi lelaki dan perempuan Gayo yang menjadikan semesta Gayo sebagai “kitab suci” dalam karya dan berkarya bidang agama, pendidikan, ekonomi, politik sosial budaya, sejarah, parawisata, pertanian dan peternakan? Air, terpentyn, hutan dan kopi? “Viruskan kecemburuan anak negeri”. [INFOSASTRA.COM]

Berita Terkait

Leave a Comment