Kasus Pembatalan Putar Film Pulau Buru Tanah Air Beta, AJI Jakarta Kecam Polsek Menteng
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam
Kepolisian Sektor Menteng yang tidak mau dan tidak mampu menjamin
keamanan acara pemutaran perdana film dokumenter Pulau Buru Tanah Air
Beta karya Rahung Nasution di Pusat Kebudayan Jerman Goethe-Institute,
Menteng, Jakarta, Rabu 16 Maret 2016. Padahal, pemutaran akan
dilakukan ruang tertutup di Goethe-Institute yang sudah biasa dipakai
untuk memutar film dan acara kesenian.
Walau polisi tidak secara langsung meminta acara itu dibatalkan, sikap
polisi menunjukkan keperpihakan kepada organisasi masyarakat yang
kerap bertindak intoleran dan mengancam kebebasan berekspresi,
kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkesenian melalui film.
Malam sebelum pemutaran, empat anggota Kepolisian Sektor Menteng
mendatangi Goethe-Institut Jakarta untuk mengkonfirmasi ihwal acara
pemutaran film tersebut. Saat itu mereka menyatakan akan ada unjuk
rasa dari ormas Islam. Panitia sudah memberikan adanya acara pemutaran
film itu ke Polsek pada 5 Maret lalu.
Tadi pagi, polisi mendatangi lagi Goethe-Institute dan memperjelas
bahwa ormas yang akan berunjuk rasa adalah Front Pembela Islam, yang
akan memprotes dan mengancam membubarkan pemutaran film tersebut.
Bukannya menyiapkan pengamanan untuk menjaga acara pemutaran film,
polisi justru meminta Goethe-Institute untuk mempertimbangkan rencana
pemutaran film karena adanya unjuk rasa tersebut.
Lima jam sebelum pemutaran, karena tak adanya jaminan keamanan dari
Kepolisian, Goethe-Institute membatalkan pemutaran film Pulau Buru
Tanah Air Beta. Panitia kemudian memutarnya untuk kalangan terbatas di
kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Film ini bercerita tentang
sejarah Pulau Buru yang dipergunakan sebagai tempat pembuangan para
tahanan politik setelah pembantaian 1965.
Ini bukan kejadian pertama di Jakarta tahun ini. Pada 27 Februari
lalu, Kepolisian Sektor Menteng juga tidak mau dan tidak mampu
menjamin keamanan Festival Belok Kiri yang rencananya digelar di
Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Polisi bahkan
membubarkan acara tersebut setelah didesak oleh kelompok ormas
intoleran. Panitia akhirnya memindahkan acara tersebut di Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
AJI Jakarta menilai Kepolisian Sektor Menteng tidak profesional
menjalankan tugasnya. Pasal 1 dan 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian dengan jelas menyatakan Kepolisian bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tindakan polisi yang berpihak kepada kelompok intoleran itu mengancam
kebebasan berekspresi dan hak berpendapat warga negara yang dijamin
oleh Undang-Undang Dasar 1945. Bila sikap Kepolisian diteruskan,
bukan tidak mungkin kelompok-kelompok intoleran makin kuat dan
mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Bila sikap
Kepolisian diteruskan, Indonesia akan menyambut masa depan tanpa
kebebasan.
Menyikap masalah ini, AJI Jakarta menyatakan:
(1) Menuntut pemerintahanan di bawah Presiden Joko Widodo hingga
Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama untuk tanggap
terhadap ancaman nyata kekebasan berekspresi dan berpendapat di Ibu
Kota. Kami mendesak pemerintah untuk mengambil sikap tegas terhadap
semua pihak yang mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan
berekspresi.
(2) Mendesak Kepolisian untuk menjamin pelaksanaan hak-hak warga
negara untuk berpendapat dan berekspresi. Dalam kasus pemutaran film
ini, Kepolisian seharusnya menjaga keamanan acara sampai selesai,
bukan malah mengintimidasi secara halus penyelenggara acara agar
membatalkannnya.
(3) Meminta kelompok masyarakat tidak menebar ancaman kepada warga
negara yang menggunakan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Memaksakan kehendak dan menebar ancaman adalah tindakan antidemokrasi.