Mie Aceh, antara Isu Ganja, GAM dan Hikmah Tsunami
OLEH:Heyder Affan,Wartawan BBC |
IndonesiaKaya akan rasa dan aroma rempah-rempah, kuliner tradisional khas Aceh yaitu mie Aceh terus bersaing dengan makanan “pendatang” lainnya untuk memanjakan lidah warga kosmolitan Jakarta.
Saya beberapa kali ke kota Banda Aceh sejak liputan tsunami pada akhir 2004, dan saya tidak akan pernah melupakan kalimat pertama seorang sahabat di kota itu yang berkata “jangan lupa menyantap mie Aceh”.
Kadang memilih mie Aceh model tumis atau goreng, tetapi saya terlanjur jatuh cinta mie Aceh rebus – yang menunya tidak sulit ditemukan di berbagai rumah makan atau kedai di sudut-sudut kota itu. Dan ini terus berulang setiap ke Banda Aceh.
IKLAN
Dan selanjutnya, bisa ditebak. Riwayat saya bersentuhan langsung dengan makanan campuran peradaban kuliner Cina, India dan Arab itu, membuat lidah saya terlanjur mengakrabi mie Aceh.
Sampai di Jakarta, saya pun dihadapkan pertanyaan klise yang juga sering diutarakan para pengelana yang baru pulang dari perjalanan jauh: “Di manakah saya mendapatkan makanan tradisional dari tempat yang pernah saya kunjungi?”
Bagi para pebisnis kuliner yang memiliki bakat dan ketajaman, pertanyaan itu bisa berarti “pintu masuk” untuk mengeruk keuntungan dari ceruk bisnis makanan tradisional.
Hikmah tsunami
Selasa siang pekan lalu, perempuan kelahiran 1964 di Bireun, Provinsi Aceh itu tengah berada di ruangan utama restoran yang dikelolanya, di kawasan Jalan Bendungan Hilir, Jakpus, ketika saya menemuinya untuk sebuah wawancara.
Namanya Ratna Dwikora, pemilik restoran mie Aceh Seulawah. Memulai usaha kecil-kecilan dengan membuka kantin di Jakarta Selatan pada 1996, kini Ratna telah memiliki sedikitnya 10 cabang di berbagai sudut Jakarta.
Image copyrightBBC Indo nesia
Image caption
Memulai usaha kecil-kecilan dengan membuka kantin di Jakarta Selatan pada 1996, kini Ratna Dwikora telah memiliki sedikitnya 10 cabang restoran Seulawah di berbagai sudut Jakarta.
“Pangsa pasar yang menuntut saya akhirnya menjual mie Aceh,” ungkap ibu empat anak ini, ketika saya bertanya kenapa dirinya menjadikan mie Aceh sebagai menu utama.
Ratna masih ingat, mie Aceh – dan masakan tradisional Aceh lainnya – makin menarik hati sebagian warga ibu kota setelah bencana tsunami meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh, akhir Desember 2004.
“Saya tidak bilang (bencana tsunami) ini keuntungan ya, tapi sesudah tsunami Aceh, orang jadi penasaran dengan Aceh, lalu makanan Aceh jadi umum. Dan setelah dicoba rasanya cocok,” katanya.
Pendapat serupa juga diutarakan pemilik restoran Mie Aceh Jaly-jaly, Razalie Abdul Jalil. Pemilik 18 cabang restoran mie Aceh di berbagai wilayah ibu kota ini mengaku bencana tsunami membuat Aceh “makin dikenal” – juga kulinernya. [BBC.COM]