Di Mulut Lorong
Cerpen: Hasyim KS |
Lelaki kelahiran Lhok Paoh, Tapaktuan, Aceh, 21 Juli 1940 ini adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari Aceh. Ia penyair, cerpenis, novelis, juga dramawan. Selain berkesenian, ia dikenal sebagai wartawan dan editor budaya yang mendorong lahirnya banyak sastrawan muda. Terakhir, sebelum meninggal pada 13 Januari 2004, ia bekerja sebagai redaktur budaya di Harian Serambi Indonesia.
=====
Di mulut lorong itu dia berdiri. Mulut lorong yang gelap pekat oleh bayangan pohon asam. Dan laki-laki itu sendiri ikut ditelan dalam kepekatan sekitar mulut lorong itu.
Semenjak tadi sudah, matanya terus menerus mengawasi pekarangan rumahnya dari mulut lorong itu. Semenjak tadi bahkan tak dapat dihitung lagi entah berapa kali sudah telapak tangannya mengusap gagang belati yang terselip di pinggangnya. Namun yang dia tahu, bahwa kini telapak tangan itu basah oleh keringat. Padahal malam telah lama dijamah oleh hawa dingin disekitar kawasan pinggiran kota ini.
Menggosok telapak tangan yang berkeringat, laki-laki itu memejamkan matanya. Maka bayangan yang melintas adalah yang itu-itu juga: perempuan itu dengan mata sedikit terpejam (tentunya), yang dengan pasrah menelentang di atas ranjang. Dan tentu juga belah an dasternya terbuka sedikit karena dia berpura-pura lupa mengancingnya. Dan tentu juga dicelah belahan daster yang ternganga itu sebuah tangan menyelusup. Dan tentu juga pemilik dada yang diselusupi tangan itu pura-pura tidak mau tahu karena begitulah maunya. Begitu seterusnya sampai tubuh perempuan itu terhimpit lemas dibawah tubuh seorang pria. Wanita yang lemas itu yang menjadi bayangan dalam kepala laki-laki di mulut lorong itu adalah yang bernama Mariamah. Dan Mariamah itu adalah isterinya. Tapi tangan yang menyibak daster Mariamah, kemudian tubuh yang menghimpit tubuh Mariamah adalah bukan miliknya. Dia itu adalah laki-laki yang bernama Matrokan jagoan di pasar loak.
Buru-buru dia membuka matanya dan secepat itu pula mengawasi kembali pekarangan rumahnya. Yang ditunggu belum muncul. Orang yang ditunggu tidak segelisah yang menunggu. Tapi dia malam ini mesti menunggu, karena walau bagaimanapun dia juga seorang laki-laki. Makanya semenjak tadi dia berdiri di mulut lorong itu, karena malam ini mesti ada suatu penyelesaian. Dan penyelesaian yang bakal dia bikin malam ini telah dia bolak balik berminggu-minggu setelah dia dilaporkan para tetangga, yang isterinya Mariamah ada main serong dengan Matrokan.
Bukan sekadar laporan itu saja yang dia dengar. Bahwa sepucuk surat yang ditemuinya di bawah lemari makan adalah berasal dari Matrokan. Surat itu memberi petunjuk bahwa Mariamah bukan sekali dua telah tidur dengan laki-laki itu setiap dia tidak di rumah.
Tiba-tiba saja suatu perasaan sedih bercampur dengan perasaan rendah diri muncul pada saat dia menunggu di mulut lorong itu. Sedih karena selaku seorang pegawai rendahan dia harus keluar malam untuk membeca. Mengapa dulu ayah Mariamah yang tukang daging itu mau menerima lamarannya. Padahal anaknya ketika itu memang telah ada hubungan dengan Matrokan? Apakah pertimbangan ayah Mariamah ketika itu barangkali lebih mulia memilih dia selaku pegawai ketimbang menerima Matrokan yang hidup di pasar loak?
Wajar pulalah kiranya proses perkawinan mereka dipercepat karena keluarga mertuanya adalah keluarga besar yang dihidupi hanya dengan berjualan daging. Pun bapak mertua itu tidak pula berkeberatan ketika pada bulan ke empat dia boyong Mariamah ke sebuah rumah sewa dipinggiran kota.
Dia tersentak ketika seekor kelelawar terbang rendah di atas kepalanya. Kelelawar itu hilang ditelan mulut lorong. Lalu pikirannya kini melayang ke kantor. Seorang rekannya di kantor pernah memberi penilaian setelah dia menceritakan kegoncangan rumah tanggannya. Kawannya itu mengatakan bahwa begitulah perempuan. Jenis manusia ini tidak mau mengatakan apa maunya, tapi lebih suka berbuat untuk kemauannya.
“Dan ini termasuk Mariamah“, desisnya. Bahwa anak tukang daging yang hidup parah itu memang tak tahu diuntung, begitu dia menempelak dalam hati sembari meng gosok kembali telapak tangan yang basah ke pantat celana. Baru kemudian telapak tangan itu menggenggam kembali gagang belati yang terselip di pinggangnya.
Sayup sekali sayup sekali telinganya mendengar suara lonceng tangsi yang dihitungnya dengan sabar sampai ke pukuan yang ke dua belas. Begitu suara pukulan terakhir lenyap, begitu pula pukulan di dalam dadanya muncul menggetarkan bahagian- bahagian tubuhnya. Degap degup itu bermain-main juga di gendang telingannya. Dan mulut lorong itu terasa ribut sekali.
Sekarang ini keringat bukan lagi sekadar membasahi telapak tangannya, tapi seluruh tubuhnya juga mandi keringat. Bahwa baginya kini, batas penantian telah tiba. Ada sesuatu yang panas menjalar di dalam dadanya manakala dia ingat bahwa pada minggu- minggu terakhir ini, jika malam mereka bertemu di atas ranjang, Mariamah bersikap dingin- dingin saja. Sudah tentu tidak demikian, kalau laki-laki yang tidur dengan Mariamah adalah yang bernama Matrokan.
Mengingat demikian, tiba-tiba matanya menyentuh sesuatu yang bergerak di pekarangan yang selama ini diawasinya. Yang bergerak adalah sesosok tubuh dengan terbungkuk-bungkuk melangkah menuju pintu rumah. Dan baginya apa lagi kecuali harus juga melangkah meninggalkan mulut lorong.
Sosok tubuh itu tertegun tepat di muka pintu rumahnya.
Dia juga harus berhenti. Sosok tubuh itu sekarang mengintip di lobang kunci.
Dia kembali melangkah sehingga jarak dia dengan sosok tubuh itu hanya untuk sekali lompat. Dia berhenti lagi ketika sosok tubuh itu mengetok pintu. Pun jelas di dengarnya orang yang mengetok pintu itu memanggil nama isterinya, begitu lembut. Oleh kelembutan panggilan itu muncul tiba-tiba perasaan asing dan sepi di hatinya. Karena dia juga selama ini memanggil Mariamah selembut panggilan orang itu, tapi tidak selembut itu sikap Mariamah menerimanya.
Mengingat ini, panas tadi menjalar lagi di dalam dadanya. Bukan disitu saja. Panas juga terasa sampai ke ubun-ubun. Bukan disitu saja. Panas itu menjalar juga disepanjang pinggiran daun telinga.
Dan saat itu tibalah. Sekali lompat dia telah berada di belakang calon korbannya. Sebelum orang itu melengos, maka belati di genggamannya telah menghunjam ke punggung orang itu. Cuma sebuah keluhan yang keluar dari mulut orang itu sebelum dia rubuh.
Memang telah begitu direncanakan. Karena tanpa berlama-lama, dengan setengah berlari dia meninggalkan tempat itu menuju ke jalan raya. Tiba di sana sebuah beca dia cegat. “Ke kantor polisi“, perintahnya pada tukang beca.
Polisi yang menerima laporannya lalu mengandakan pemeriksaan ke tempat kejadian dan kira-kira sejam kemudian komandan jaga mendatangi dia di dalam sel.
“Orang yang anda tikam itu baru meninggal setelah tiba di rumah sakit, begitu sang kamandan. Dia tidak menyahut. Matanya menatap ke arah polisi itu. Tapi polisi itu terus:
“Saya tidak habis pikir mengapa anda begitu tega membunuh bapak mertua anda sendiri“.
Dia tidak menyabut. Matanya melotot ke arah polisi itu. Tapi polisi itu terus:
“Menurut pengakuan korban sebelum meninggal, bahwa dia datang di tengah malam buta itu ke rumah anda bermaksud untuk menyampaikan bahwa isterinya, ibu mertua anda, dalam keadaan sakit berat. Dia ingin sekali bertemu dengan anda suami isteri“.
Matanya terus melotot ke arah polisi itu. Tenggorokannya naik turun setelah menelan ludah beberapa kali, baru kemudian terdengar suaranya:
“Bukankah dia yang bernama Matrokan?“.
Sang Komandan itu terbahak-bahak mendengar pertanyaannya. Setelah suara bahaknya lenyap, kepada laki-laki itu dia menjelaskan:
“Matrokan kini berada dalam tahanan kami. Dia ditangkap dua hari yang lalu akibat membuat keonaran di pasar loak. Nah jelas bukan?“
Kini matanya tidak melotot lagi kepada komandan polisi itu. Mata itu terkatup rapat. Dan dalam terkatup itu dia melihat sebuah lorong yang lebih gelap dari mulut lorong di samping rumahnya. Dan mulut lorong itu siap untuk menelan tubuhnya.(1973).
SUMBER: INFOSASTRA.COM