Ini Tujuan dan Output Kongres Peradaban Aceh 2015
MEDAN-LintasGayo.co : Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2015 dengan tema “Menguatkan Bahasa-bahasa Lokal di Aceh” akan digelar pada bulan Oktober 2015 di Aceh. Kongres ini diperkirakan akan dihadiri sekitar 300 peserta dari pelbagai kalangan. Termasuk, wakil dari penutur bahasa. Sebelum itu, akan diadakan prakongres di Medan. Panitia prakongres di Medan telah membentuk panitia pelaksana.
“Ketuanya Pak Zulkifli Husein, Sekretaris T Munthadar, dan Bendahara Arbi A Gani,” kata H. M Husni Mustafa, Ketua Umum Aceh Sepakat, komunitas masyarakat Aceh di Medan (11/7/2015).
Kegiatan prakongres di Medan, sambung M. Husni, direncanakan pada September 2015. “Diharapkan Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah yang membuka acara ini. Pihak penyelenggara di Medan juga akan mengundang 10 Konsul negara sahabat pada pembukaan prakongres,” sebutnya.
Sebelumnya, Panitia Persiapan KPA 2015 di Jakarta juga telah mengadakan diskusi terarah (focus group discussion) di Hotel Aryaduta Jakarta, 26 Juni 2015 lalu.
Fahmi Mada, bendahara panitia, mengatakan semua rangkaian acara KPA 2015, mulai diskusi terarah, prakongres sampai kongres, semuanya menggunakan dana hasil gotong royong alias meuripe di kalangan penggagas, panitia dan simpatisan, baik dari kalangan masyarakat Aceh maupun nonaceh.
“Mereka menyumbang seikhlasnya. Tidak ada sepeser pun dana pemerintah dalam pelaksanaan kongres ini. Sebab, acara ini merupakan inisiatif dari kalangan masyarakat yang ingin agar identitas Aceh diperkuat. Jadi, ini bukan acara proyek. Ini kerja peradaban dimana semua orang didorong ikut berpartisipasi di dalamnya,” tegas Fahmi.
Panitia yakin, sambung Fahmi, salah satu ciri peradaban Aceh adalah kebersamaan dalam kesetaraan. Tradisi ini masih tumbuh subur hingga kini. Misalnya, dalam wujud meuripe untuk mensukseskan sebuah acara masyarakat.
Tujuan & Output KPA
Dari Term of Reference (ToR) disebutkan bahwa KPA tersebut akan diadakan secara berkelanjutan dengan tema yang berbeda setiap tahunnya, dengan tujuan: 1) Memetakan bahasa-bahasa lokal di Aceh, termasuk jumlah penuturnya; 2) Memetakan pelbagai persoalan yang dihadapi bahasa-bahasa lokal di Aceh dan mengidentifikasi upaya mengatasi masalah tersebut; 3) Mengidentifikasi strategi penguatan dan memasyarakatkan kembali bahasa-bahasa lokal di Aceh di tengah interaksi komunikasi masyarakat dari tingkat desa sampai kota pada seluruh lapisan masyarakat dan sektor kehidupan di Aceh dengan mengedepankan prinsip berbahasa lokal yang baik dan benar; 4) Memperoleh masukan tentang cara mempertahankan dan melestarikan penggunaan bahasa-bahasa lokal di Aceh sebagai kebanggaan dan identitas diri.
Sementara, out put kegiatan tersebut, diantaranya 1) Adanya pemetaan bahasa-bahasa lokal di Aceh secara komprehensif; 2) Adanya kamus bahasa-bahasa lokal Aceh terbaru. Termasuk, kamus dalam bentuk digital yang mudah diunduh seluruh lapisan masyarakat Aceh di mana pun; 3) Terbentuknya majelis bahasa-bahasa lokal di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagai badan pertimbangan dalam pengembangan bahasa dan masyarakat Aceh; 4) Adanya kebijakan Pemerintah Aceh yang mewajibakan generasi muda Aceh dari TK, SD/MI, SMP/MTsn, SMA/MA, dayah sampai universitas untuk mempelajari bahasa-bahasa lokal di Aceh sebagai pelajaran muatan lokal; 5) Adanya kebijakan penggunaan bahasa-bahasa lokal di Aceh pada lembaga-lembaga pemerintah dan swasta untuk hari berbahasa lokal di Aceh; 6) Memakai bahasa-bahasa lokal di Aceh oleh seluruh media masa, new media, dan media sosial. Termasuk, dalam bentuk kampayne/promosi, ceramah serta forum-forum resmi dan tak resmi secara berkelanjutan. (AF)
SUMBER: LINTAS GAYO, 12 JULI 2015