Masa Depan Bahasa Daerah: Studi Kasus di Aceh
OLEH : Teguh Santoso | Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh
==========
Tulisan ini adalah makalah Teguh Santoso, Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh, untuk diskusi terfokus persiapan Kongres Peradaban Aceh (KPA) di Hotel Aryaduta, Jakarta, 26 Juni 2015. Teguh tidak bisa hadir dan mewakilkan kehadirannya dengan tulisan ini. Redaksi.
===========
Pendahuluan
Bahasa menunjukkan bangsa. Peribahasa yang sarat akan muatan tentang salah satu parameter terhadap seseorang atau komunitas dilihat pada sisi baik-buruknya salah satunya melalui bahasa. Bahasa menjadi salah satu penanda bagi sebuah bangsa. Bagaimana bahasa dalam kapasitas sebagai alat komunikasi dan juga medium berekspresi diolah oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga berdasarkan olahan bahasa tersebut muncul sebuah watak atau karakter dari orang atau kelompok yang mengolahnya tersebut. Bahasa seseorang yang tidak berpendidikan dan bahkan cenderung urakan akan sangat berbeda coraknya, ragamnya, dan isinya dengan mereka yang notabene memiliki tingkat pendidikan yang relatif bagus. Inilah yang membedakan antara golongan yang telah melek huruf dengan yang tidak. Jargon melek huruf tidak hanya terbatas pada masalah baca tulis semata, tetapi lebih luas yakni upaya mengoptimalkan peran dan fungsi bahasa di dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa secara fungsional masih menimbulkan pro dan kontra berdasarkan tingkat kepentingannya. Terkadang sebagian orang mengatakan bahwa bahasa merupakan hal yang penting. Artinya, bahasa harus betul-betul diperhatikan dan diurusi. Sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang tidak penting sehingga tidak perlu diberi porsi yang banyak dalam pembinaan ataupun pengembangannya. Sebagian lain lalu mengatakan bahwa bahasa tidak dapat menghasilkan apa-apa alias tidak berkorelasi langsung dengan persoalan materi. Oleh karena itu, bahasa tidaklah terlalu penting untuk diperhatikan. Benarkah demikian? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, atau kedua-duanya benar. Hal itu sangat bergantung dari cara pandang kita. Kita cermati salah satu hal yang setiap tahun terjadi, yakni Ujian Nasional (UN), terutama mata pelajaran bahasa Indonesia. Melihat realitas pasca-Ujian Nasional (UN), baik tingkat dasar maupun tingkat menengah, rata-rata nilai bahasa yang diujikan (dalam hal ini bahasa Indonesia) tidak memenuhi standar kelulusan yang dipersyaratkan. Pada konteks ini, ada apa sebenarnya dengan pendidikan bahasa Indonesia di Indonesia? Apakah karena anggapan sepele terhadap bahasa kita sendiri? Apakah tidak ada yang sinkron antara materi pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah dengan soal-soal UN? Sangat kompleks ketika kita akan mencari tahu jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan itu. Tanpa bermaksud mengesampingkan persoalan bahasa Indonesia tersebut, biarlah hal itu menjadi wilayah mereka-mereka yang memiliki pemangku kebijakan yang relatif kuat dan menyeluruh sesuai dengan konteks bahasa Indonesia yang berskala nasional.
Kondisi Bahasa Daerah Saat Ini
Lalu untuk skala lokal, apakah bahasa daerah telah pula mendapat “tempat” di hati masyarakat penuturnya? Kecenderungan yang terjadi, hampir di setiap daerah, bahasa daerah semakin terabaikan atau kalau boleh kita katakan semakin terpinggirkan. Ibarat petinju yang dihajar di pojok ring, bahasa daerah digempur habis-habisan oleh dominasi bahasa nasional dan bahasa asing. Situasi seperti ini menjadi fenomena yang umum di setiap daerah di Indonesia, meskipun beberapa bahkan daerah ada yang telah membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang bahasa daerahnya. Bahkan, badan dunia PBB UNESCO menyatakan bahwa sebuah bahasa yang memiliki jumlah penutur kurang dari 1000 orang, bahasa tersebut memiliki potensi kepunahan yang sangat tinggi. Bahasa dengan kondisi penutur seperti itu dikategorikan ke dalam bahasa yang terancam punah. Bagaimana halnya dengan bahasa-bahasa daerah di Provinsi Aceh? Sementara ini, hasil pemetaan bahasa di Provinsi Aceh yang dilakukan oleh tim pemetaan bahasa Balai BahasaProvinsi Aceh menunjukkan adanya gejala kepunahan bahasa, terutama bahasa daerah yang berada di Kepulauan Banyak, yaitu bahasa Devayan. Secara administratif wilayah Kepulauan Banyak berada di bawah pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Hasil kajian yang dilakukan oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh atas bahasa Devayan bukan tidak mungkin juga akan menjangkiti bahasa-bahasa daerah lain yang ada di Provinsi Aceh. Tidak terkecuali bahasa Aceh yang memiliki wilayah pakai di hampir setiap wilayah di Provinsi Aceh. Penutur terbanyak bahasa daerah di Provinsi Aceh yakni bahasa Aceh, lalu disusul bahasa Gayo. Sebuah teori tentang kelangsungan sebuah bahasa atau hidup matinya sebuah bahasa sangat bergantung pada penutur bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian, bahasa daerah mesti dikembangkan dan dibina dalam rangka kelangsungan hidupnya kelak apabila tidak menginginkan bahasa daerah tertentu hanya tinggal nama saja. Lalu, bagaimana andil para pemegang kebijakan terkait persoalan bahasa daerah ini?
Fenomena yang menarik berkaitan dengan keberadaan bahasa daerah di Provinsi Aceh dapat dicermati pada sikap berbahasa penuturnya. Sikap merupakan sesuatu yang tidak dapat diempiriskan. Sikap dapat diketahui melalui perilaku yang ditunjukkan oleh orang atau individu yang bersangkutan. Manakala seseorang menyatakan keloyalan pada atasan misalnya, hal itu akan terwujud di dalam perilakunya. Bukan sikap hipokrit dan hanya manis di mulut saja, tetapi benar-benar antara sikap yang dia pilih berbanding lurus dengan perilakunya atau perbuatannya. Dalam hal bahasa juga demikian. Seringkali seseorang berteriak-teriak akan pentingnya bahasa daerah, tetapi di sisi lain ia tidak berusaha melestarikan bahasa tersebut. Justru terkadang ia lebih sering menggunakan bahasa dan istilah-istilah asing. Praktis, antara perkataan dan realisasinya (perbuatan) berbeda sama sekali.
Kondisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan biasanya menjangkiti mereka yang dikategorikan sebagai golongan remaja/ kaum muda. Masa krusial pada aspek daur hidup manusia adalah masa remaja. Usia remaja sangat rentan oleh pengaruh dari dunia luar karena pada usia ini terjadi proses pencarian jatidiri. Pada sisi bahasa, remaja menjadi komunitas yang memiliki kecenderungan untuk berubah. Perubahan tersebut justru perubahan yang sepertinya tercerabut dari akar bahasanya sendiri. Tidak jarang di perkotaan terjadi fenomena seorang remaja tidak tahu lagi bahasa daerahnya. Belum lagi dengan maraknya apa yang kita kenal dengan bahasa gaul. Kita tidak phobia atau takut atas setiap fenomena kebahasaan seperti itu. Akan tetapi, alangkah bijaknya apabila dasar fondasi atas bahasa daerah atau bahasa pertama diperkuat terlebih dahulu. Hal ini sangat berkaitan dengan tiga domain bahasa.
Domain bahasa secara garis besar terbagi atas tiga, yakni bahasa daerah atau bahasa ibu, bahasa Nasional (baca: bahasa Indonesia), dan bahasa asing. Bahasa asing yang dimaksudkan yaitu bahasa yang secara geografis berasal dari luar wilayah Indonesia, dapat berupa bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, dll. Domain bahasa ini memiliki peran dan fungsi yang sama pentingnya apabila dikaitkan dengan persoalan jatidiri. Sayangnya, apa yang terjadi saat ini seperti ada perlakuan diskriminatif atas domain bahasa tertentu. Perlakuan tersebut terutama terjadi pada domain bahasa daerah. Perlakuan diskriminatif ini tidak hanya yang bersifat kebijakan tetapi lebih banyak disebabkan oleh sikap bahasa penuturnya. Sikap berbahasa yang diharapkan atas bahasa daerah sebaiknya atau idealnya adalah sikap positif. Berkaca pada kasus di Provinsi Aceh, pada sisi kebijakan terasa ada perlakuan yang berbeda. Diskriminasi kebijakan salah satunya mengakibatkan tertundanya kegiatan Konggres Bahasa Aceh yang sebelumnya (akan) rutin diagendakan. Ketiadaan political will para pemegang kebijakan di daerah karena kurang sensitifnya para pemegang kebijakan atas persoalan bahasa daerah ini yang lalu menjadi kendala terwujudnya gelaran ini. Rumor yang selama ini penulis peroleh tentang tertundanya salah satu bentuk perhatian terhadap bahasa daerah yakni pengajuan penganggaran selalu “mentah”, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Tampaknya ada semacam anggapan bahwa persoalan bahasa dirasakan belum begitu penting, sehingga pembangunan di Aceh lebih difokuskan pada pembangunan yang bersifat materi. Seringkali dalam setiap kesempatan penulis menekankan pentingnya bahasa sebagai bagian humanisme dalam mengobati luka Aceh yang telah berlangsung bertahun-tahun akibat konflik. Akan tetapi, hal itu belum cukup untuk memunculkan satu kebijakan dari pemangku kepentingan di daerah akan penanganan bahasa daerah yang komprehensif dan berkelanjutan.
Sikap berbahasa penutur bahasa daerah sendiri pun terkadang cenderung negatif. Hal ini dapat diketahui pada keengganan mereka berbahasa daerah. Mereka akan memilih kata-kata asing yang terlihat lebih intelek, lebih modern yang terkadang secara konseptual tidak dimengerti oleh mereka secara pasti. Inilah kelatahan masyarakat kita yang lalu memunculkan fenomena budaya nginggris pokoknya asal pake bahasa asing (Inggris)! Termasuk fenomena di Kota Banda Aceh, penulis pernah mengadakan survei kecil-kecilan dengan mengambil ruas jalan utama di sekitar kawasan perdagangan. Hampir 70% penulisan papan nama tempat usaha di sepanjang jalan utama tersebut menggunakan kata-kata asing, seperti fashion, babyshop, dll. Timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah yang menjadi pembeli di toko-toko tersebut orang asing (baca: bule)? Jika bukan, apakah lalu semua orang di Aceh akan diinggriskan? Penulis rasa kondisi seperti itu terjadi di setiap kota di Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan kita guna memartabatkan bahasa daerah dan bahasa Nasional tentu saja.
Saat ini telah hadir Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Khusus tentang bahasa, di dalam undang-undang tersebut telah diatur bagaimana tiga domain bahasa tersebut (bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing). Yang pasti, seiring era otonomi daerah, ada tanggung jawab moral pada pemerintah daerah untuk secara aktif melakukan pembinaan terhadap bahasa daerah di wilayahnya. Bagaimana dengan di Provinsi Aceh? Kita menunggu kiprah para pemegang kebijakan, khususnya soal kebudayaan terutama soal bahasa untuk “sekadar” melirik keberadaan bahasa daerah. Jangan sampai kita menyesal tanpa melakukan antisipasi sehingga sebuah bahasa daerah di Aceh kelak hanya tinggal nama saja. Aceh perlu untuk maju dan berkembang seperti halnya daerah lain. Akan tetapi, sebelum semua telanjur, ada baiknya para pemangku kebijakan di daerah mencamkan motto globalisasi supaya terealisasi yakni think locally, act globaly. Kita bolehlah menjadi bagian pemain di dalam modernitas itu, tetapi kita tetap kukuh dengan nilai-nilai keacehan kita yang tidak hilang. Dengan demikian, identitas keacehan kita yang salah satunya dari bahasa tetap dapat dipertahankan!
Penutup
Bahasa daerah terlepas dari persoalan pro dan kontra harus tetap diperhatikan. Dengan revitalisasi bahasa daerah otomatis akan meningkatkan daya hidup dan daya ungkap bahasa daerah dalam memperkaya kebudayaan Indonesia. Seringkali kita terjebak pada hitungan matematis tentang untung rugi melestarikan bahasa daerah. Yang pasti bahasa daerah menjadi aset yang berharga bagi Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pemangku kepentingan persoalan bahasa ini secara ikhlas melakukan upaya pelestarian dengan kapasitas dan peran masing-masing.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan (editor). 2011. Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Kemdikbud
Muslich, Masnur dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa di Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara
Santoso, Teguh. 2011. Dari Persoalan Bahasa hingga Persoalan Politik. Banda Aceh: Pena
=============
FOTO: Suasana FGD, Jakarta, 26 Juni 2015