Wali Nanggroe Dukung Kongres Peradaban Aceh
Direncanakan saat kongres akan dibuatkan forum untuk para perantau Aceh yakni Diaspora Aceh Summit.
JAKARTA –Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al Haytar, memberi dukungan penuh terhadap pelaksanaan Kongres Peradaban Aceh. Kongres yang diadakan pada Oktober 2015 itu mengambil tema “Penguatan Bahasa-bahasa Lokal di Aceh”. “Kongres itu diharapkan melahirkan gagasan-gagasan yang konstruktif dan inovatif,” kata Malik Mahmud saat membuka diskusi terarah persiapan kongres itu di Jakarta, Jumat, 26 Juni 2015.
Ia berharap dari kongres Peradaban akan tersusun sebuah ensiklopedi Aceh yang di dalamnya terdapat kamus bahasa Aceh. Kamus itu memuat bahasa-bahasa di Aceh secara komperehensif, baik kamus cetak maupun kamus digital/elektronik. Dalam kesempatan itu, ia juga memberi apresiasi kepada penggagas kongres tersebut. “Sebagai orang tua, hari ini saya sangat bangga, ternyata masih banyak para pemikir dan pendukung serta bekerja keras demi pelestarian adat dan budaya Aceh,” ujarnya.
Ketua Panitia Persiapan Kongres Peradaban Aceh, Ahmad Farhan Hamid, mengatakan ada bahwa anak-anak muda di Aceh, terutama di kota, makin sedikit yang bertutur menggunakan bahasa lokal. “Bahasa-bahasa lokal secara perlahan mulai tergerus dan hilang. Ini bencana nyata bagi punahnya peradaban. Dan kalau terjadi di Aceh, berarti punahnya sebagian peradaban Aceh,” ujarnya.
Menurut dia, gagasan kongres ini berangkat dari keresahan kalangan muda terhadap identitas dan peradaban Aceh. Gagasan itu lalu dibahas dalam grup BBM Gerakan Anti Kekerasan (GSK) dan grup WA Diaspora Aceh. Sebagian anggota kedua grup itu kemudian melakukan beberapa rapat untuk mematangkan rencana ini. Mereka sepakat memulai pertama dengan diskusi terarah untuk pemetaan masalah.
Lalu, menurut Farhan, seorang tokoh masyarakat Aceh di Jakarta, Adnan Gantoe, memfasilitasi diskusi terarah itu di sebuah hotel diikuti buka puasa bersama. “Untuk kebutuhan diluar itu, kami meuripee (patungan),” ujar Wakil Ketua MPR periode 2009-2014 itu.
Mustafa Ismail, seorang pegagas, mengatakan diskusi terarah diikuti oleh sekitar 50 peserta. Mereka terdiri dari akademisi, ahli bahasa, generasi muda, tokoh masyarakat, dan wakil dari para penutur bahasa-bahasa lokal di Aceh. Seperti diketahui, di Aceh memiliki 13 bahasa lokal. “Bahkan ada sebuah kabupaten yang bahasa lokalnya ada lima,” ujar Mustafa yang juga sekretaris panitia.
Ia menjelaskan, rangkaian persiapan diskusi itu dimulai dengan diskusi terarah, lalu pra kongres di Jakarta pada akhir Agustus 2015 dan kongres di Banda Aceh pada 29-31 Oktober 2015. “Kami juga sedang mempertimbangkan saat kongres nanti akan dibuatkan forum untuk para perantau Aceh yakni Diaspora Aceh Summit,” ujar Mustafa yang dikenal sebagai penyair dan pegiat budaya itu.
Ia menambahkan, Diaspora Aceh Summit bisa dilakukan sehari sebelum kongres atau sehari setelah kongres. Sehingga perantau Aceh yang “pulang kampung” itu bisa sekaligus menjadi peserta Kongres Peradaban Aceh.
Panitia juga mendapat sejumlah masukan kegiatan untuk mewarnai Kongres Peradaban Aceh seperti lomba menulis cerpen, film berbahasa Aceh, hingga stand up comedy dalam bahasa lokal Aceh. “Apresiasi terhadap gagasan Kongres Peradaban Aceh ini luar biasa,” ujar Fahmi Mada, seorang pengagas lain acara ini. ###
============
RILIS INI BISA DIKUTIP. JIKA ADA HAL YANG INGIN DIKONFIRMASI ULANG/DITANYAKAN, dipersilakan menghubungi Mustafa Ismail (0852 8999 4003) dan Fahmi Mada (0812 8107 0809).