Esai 

Bahasa Adalah Inti dari Peradaban

Ini adalah pengantar panitia persiapan yang disampaikan Ketua Panitia Persiapan Ahmad Farhan Hamid dalam diskusi terfokus (FGD) persiapan Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2015.

Pengantar Panitia Persiapan

Prof. Sardono W. Kusumo menulis “Aceh tak bisa diabaikan lagi”, sementara Prof. Dr. M. Junus Melalatoa menulis “Dalam rentang sejarahnya Aceh memang tampil begitu fenomenal”. Kutipan itu dapat dibaca dalam buku ACEH KEMBALI KE MASA DEPAN (2005). Sementara Prof. Dr. Arief Rahman dalam sebuah ceramah Ramadhan (2015) menyebut “Aceh telah mengajarkan dunia”. Kagum dan mengesankan, memang dialami oleh banyak kalangan luar terhadap Aceh, bertahun-tahun, bahkan hingga kini.

Mr. T.M. Hanafiah menyebut buah karya H.M. Zainuddin berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara (1960) sebagai karya maha hebat. “Maha hebat saya katakan, karena belum ada buku yang menguraikan secara sungguh-sungguh tentang Aceh, apalagi di zaman penjajahan. Belanda dengan sengaja menyembunyikan kejayaan Aceh sehingga kita, bangsa Indonesia dinina bobokkan saja dalam persoalan Aceh”
Cuplikan di atas hanya sedikit ungkapan dari begitu banyak hal yang dibicarakan tentang Aceh. Semakin terbuka, semakin terkuak utamanya setelah dunia dikejutkan oleh musibah besar tsunami di Aceh (2004), dan berakhirnya konflik panjang 30an tahun melalui perjanjian perdamaian (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (2005).
Kini, ditengah hiruk pikuk politik dan ketidakpuasan sosial, muncul kesadaran baru generasi muda Aceh untuk mengkaji ulang kebesaran masa lalu Peradaban Aceh. Ada banyak hal yang belum diketahui secara pasti kesahihannya, ada beragam budaya yang sampai sekarang belum juga dapat diketemukan asal-usulnya secara pasti. Oleh sebab itu kita manfaatkan peluang untuk mengkaji sungguh-sungguh agar generasi muda Aceh dan masyarakat luar Aceh bisa mengetahui kekayaan peradaban Aceh yang megah itu.
Secara sederhana peradaban dimaknai sebagai sebuah identitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui dan dalam unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif.
Peradaban kadang muncul menunjukkan kekuatan diri dalam kondisi tidak terduga, menerjang aturan resmi sebuah bangsa dan negara, bahkan mengejutkan dunia. Kedigdayaan para pawang dan panglima laot di Aceh dalam membantu dan menyelamatkan manusia perahu Rohingya (2015) adalah contoh nyata hadirnya peradaban dalam aksi yang tidak didasari pada aturan baku sebuah negara. Bahkan sebaliknya, negara melalui suara para petingginya baik di pusat maupun daerah mempersoalkan tindakan itu, tetapi langkah pertolongan tak pernah surut, hingga ke pelajar sekolah, dayah, ibu-ibu rumah tangga, dll, diseantero Aceh melibatkan diri dalam operasi kemanusiaan ini. Tindakan itu kemudian mendapat pujian dunia, negarapun mengubah pandangannya, lembaga internasional memberi apresiasi, negara sahabat mengulurkan bantuan dan dukungannya.
Ironisnya, tetangga sendiri di gampong-gampong, yang mengalami kesulitan hidup malah terabaikan dalam waktu lama.
Sisi lain, kehidupan masyarakat Aceh juga mengalami pergeseran makna yang memerlukan perhatian, misalnya perangai mereka yang secara materi sudah mencukupi, namun berperilaku seperti masih miskin, sehingga hak-hak orang miskin tak henti diambilnya; lebih banyak menuntut, dibandingkan kemauan mengoreksi diri; mudah mencari kesalahan orang lain ketimbang mengajukan mengusulkan perbaikan; keinginan untuk menguasai dan mengambil, bukannya semangat memberi; semuanya itu bukan perilaku positif yang dibutuhkan untuk mendapat kondisi yang lebih baik. Singkat kata, peradaban Aceh tergerus secara perlahan.
Peradaban Aceh pernah begitu megah di masa lalu, namun belakangan mengalami kemunduran antara lain karena peperangan berkepanjangan melawan penjajahan Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) dan Jepang, serta konflik dan kekerasan dalam rentang tahun 1945-2005, setelah kehadiran negara baru, Republik Indonesia.
Gagasan Kongres Peradaban ini dimulai dari kegelisahan Mustafa Ismail, seorang pegiat budaya dan jurnalis senior asal Aceh di Jakarta, tentang penguatan identitas sebuah daerah dan kota. Mustafa menjadi pembicara dalam sebuah seminar kebudayaan di Tangerang Selatan, Maret 2015. “Intinya sebuah kota dan sebuah daerah harus punya identitas yang kuat, tidak sekedar jargon,” ujar Mustafa, yang tercatat sebagai Anggota Dewan Kesenian Depok (DKD), Jawa Barat, ini.
Selama ini, banyak kota dan daerah hanya menjadikan jargon sebagai tagline mereka. Namun faktanya bertolak belakang. Nah, salah satu cara memperkuat identitas sebuah kota atau sebuah daerah adalah dengan kebudayaan. “Identitas itu akan lebih kuat jika digali dari kebudayaan atau dari nilai-nilai yang dipunyai oleh kota atau daerah itu,” ujar Mustafa.
Masalah ini sempat pula dituliskan sebagai opini di sebuah koran nasional. Setelah itu, ia terlibat diskusi intens dengan Fahmi Mada, mantan wartawan yang konsen dengan persoalan ini. Fahmi pun bersemangat karena gelisah melihat problem identitas ini, di Aceh makin terpuruk. “Nanti kita cari momentum untuk menggulirkan wacana ini.”
Lalu, pada suatu pagi, April 2015, terjadi diskusi yang ramai di grup media sosial, Gerakan Stop Kekerasan (GSK), yang anggotanya beragam berlatar belakang dan berdomisili di berbagai tempat. Dari diskusi ini menguatkan gagasan untuk menggelar Kongres Kebudayaan demi memperkuat identitas keacehan. Lalu, Ahmad Farhan Hamid, mengusulkan agar titik bahasan diperluas menjadi peradaban sehingga mengusulkan nama kegiatan itu sebagai Kongres Peradaban Aceh.
Kongres ini merajut ulang nilai-nilai positif dari Peradaban Aceh untuk dapat diwariskan ke generasi muda dan generasi mendatang. Kongres Peradaban Aceh merupakan jawaban dari kegelisahan generasi muda Aceh terhadap tergerusnya identitas keAcehan.
Diharapkan Kongres Peradaban Aceh akan diselenggarakan berkala tiap tahun dengan Tema yang berbeda, sesuai dengan unsur-unsur pembentuk peradaban. Kali ini mengambil tema “Penguatan Bahasa-bahasa Lokal di Aceh.” Nanti di lanjutkan dengan tema-tema lain, seperti budaya, agama, kesenian, adat, ilmu pengetahuan, teknologi, arsitektur, dan lainnya.
Pemilihan tema bahasa untuk kongres pertama, karena bahasa adalah inti dari peradaban. Elemen utama peradaban adalah bahasa sebagai alat komunikasi. Aceh memiliki keragaman bahasa lokal, ada 13 bahasa lokal. Ada bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Jamee, Devayan, dan lain-lain. Bahkan, ada satu kabupaten yakni Simeulue, konon memiliki lima bahasa lokal. Di sana ada bahasa Devayan, Sigulai, Leukon, dan lainnya. Itu salah satu bentuk keragaman etnik di Aceh dan kita ingin semua berada dalam kesetaraan.
Ada temuan penelitian, bahasa-bahasa lokal secara perlahan mulai tergerus dan hilang. Ini bencana nyata bagi punahnya peradaban, dan kalau terjadi di Aceh, berarti punahnya sebahagian peradaban Aceh. Kini, jamak diketahui, dalam pergaulan, misalnya, kalangan anak-anak muda terutama di kota-kota lebih sering berkomunikasikan dalam bahasa Melayu (Indonesia) ketimbang bahasa lokalnya. Selain itu, dalam berkomukasi menggunakan bahasa lokal, sejumlah kata justru mereka ucapkan dalam bahasa Melayu (Indonesia), misalnya terima kasih yang diterjemahkan sebagai teurimong gaseh, padahal padanan yang tepat dalam bahasa Aceh adalah sabah, sendok untuk padanan canca/tanca, kafe untuk padanan keude kupi, jemuran untuk padanan teumpat adee ija, dan lain-lain.
Diskusi kemudian juga menjalar di grup media sosial lainnya, Diaspora Aceh. Semua sepakat dan bersemangat. Bahkan, Anggota DPR RI, M Nasir Jamil, mengusulkan pertemuan segera diadakan beberapa hari sesudahnya. Lalu, pada 29 April, mereka pun bertemu untuk pembicaraan pendahuluan di sebuah kafe di Senayan, Jakarta. Pertemuan itu dihadiri anggota GSK dan Diaspora seperti Ahmad Farhan Hamid, Mustafa Ismail, Fahmi Mada, Reza Vahlevi, M Amin Usman, Zaini Djalil, Hamidy Arsa Noumery dan (alm) M Jamil Hasan.
Pertemuan selanjutnya yang lebih khusus dan terfokus diadakan di sebuah rumah makan Aceh di kawasan Tebet pada 9 Mei 2015. Pertemuan itu dihadiri Ahmad Farhan Hamid, Fahmi Mada, Dokter Mahlil Ruby, Muhammad Amin Usman, Mustafa Ismail, Islamuddin Ismady, Nezar Patria, dan Fikar W. Eda. Pertemuan itu sekaligus membentuk panitia kecil untuk mempersiapkan dan mamatangkan gagasan ini. Selanjutnya, sejumlah pertemuan terus dilakukan untuk menggerakan kegiatan ini, termasuk mengkomunikasikan gagasan ini dengan berbagai pihak, hingga kegiatan Diskusi Terarah ini dilaksanakan.
Dalam perjalanan persiapan Kongres Peradaban Aceh ini, yang sangat menggembirakan adalah adanya dukungan spontan dari banyak kalangan, generasi muda Aceh, dan generasi yang lebih senior. Dukungan penuh Wali Nanggroe Aceh, PYM. Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar menjadi salah satu energi positif yang sangat kuat bagi mewujudkan Kongres Peradaban Aceh yang akan datang.
Penitia mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang memberi dukungan, ucapan terimakasih kepada semua peserta baik yang datang dari Aceh, Jakarta, dari Medan, Bandung, Yogyakarta, dari Malaysia, dan lainnya. Secara khusus, panitia menghaturkan terimakasih kepada H. Adnan Ganto yang memberi dukungan besar untuk penyelenggaraan Diskusi Terarah. Ungkapan terimakasih kasih juga disampaikan kepada mereka yang telah meuripee, memberi donasi, untuk kegiatan ini; yang oleh seorang ahli antropologi di Aceh menyebutkan “mewujudkan sebuah gagasan besar melalui semangat kerja proletariat dan kebersamaan yang sangat mengesankan”.

Hormat kami, Panitia Persiapan Kongres Peradaban Aceh:

[Ahmad Farhan Hamid-Ketua; M. Nasir Jamil-Wakil Ketua; Ifdhal Kasim-Wakil Ketua; Mustafa Ismail-Sekretaris; Nuly Nazlia-Wakil Sekretaris; Fahmi Mada-Bendahara; Ferry Soraya, Fikar W. Eda, Fuad El Radhy, Irham Istens, Islamudin Ismady, Mahlil Ruby, alm M. Jamil Hasan, Mohd Amin Usman, Morenk Beladro, Nazar patria, Rany T. Hamzah, teuku Johan pahlevy, Umaimah Wahid, Zubaidah Azwan-Tim Kerja Jakarta; Illiza Sa’aduddin Jamal, Reza Vahlevi, Cut Aja Muzita, Zainuddin Regen, dan Zaini Djalil-Tim Kerja Banda Aceh]

Berita Terkait

Leave a Comment