Peristiwa 

50 Tokoh Bahas Problem Bahasa Lokal Aceh di Jakarta

JAKARTA – Para ahli dan perwakilan bahasa-bahasa lokal di Aceh akan terlibat dalam diskusi terarah di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat, 26 Juni 2015. Acara ini digelar Panitia Persiapan Kongres Peradaban Aceh sebagai bagian dari rangkain kongres yang akan diadakan di Banda Aceh pada Oktober 2015. “Diskusi ini dijadwalkan dibuka oleh Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar,” kata Ketua Panitia Persiapan Kongres Peradaban Aceh, Ahmad Farhan Hamid.

Menurut Farhan, diskusi yang melibatkan sekitar 50 peserta aktif ini akan memetakan persoalan yang terjadi dalam bahasa-bahasa lokal di Aceh. Persoalan-persoalan itu akan menjadi bahan untuk merumuskan konsep Kongres Peradaban Aceh. “Apa saja yang dibahas dalam kongres nanti bahannya diperoleh dalam diskusi terarah ini,” tutur Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014 ini.

Kongres Peradaban Aceh merupakan jawaban dari kegelisahan generasi muda Aceh terhadap tergerusnya identitas keacehan. Kongres Peradaban Aceh akan diselenggarakan berkala tiap tahun. Kali ini mengambil tema “Penguatan Bahasa-bahasa Lokal di Aceh.” “Nanti kita lanjutkan dengan tema-tema lain, seperti budaya, kesenian, adat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lainnya,” ujar tokoh Aceh di Jakarta ini.

Pemilihan tema bahasa untuk kongres pertama, menurut Farhan, karena bahasa adalah inti dari peradaban. “Elemen utama peradaban adalah bahasa sebagai alat komunikasi,” kata dia. Di Aceh memiliki sekitar 13 bahasa lokal. Ada bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Jamee, Devayan, dan lain-lain. Bahkan, ada satu kabupaten yakni Simeulue, memiliki lima bahasa lokal. Di sana ada bahasa Devayan, Sigulai, Leukon, dan lainnya. “Itu bentuk keberagaman etnik di Aceh dan semua berada dalam kesetaraan.”

Menurut dia, sekarang ada sinyalemen bahasa-bahasa lokal itu secara perlahan mulai tergurus. Dalam pergaulan, misalnya, kalangan anak-anak muda terutama di kota-kota lebih sering berkomunikasikan dalam bahasa Melayu ketimbang bahasa lokalnya. Selain itu, dalam berkomukasi menggunakan bahasa lokal, sejumlah kata justru mereka ucapkan dalam bahasa M, misalnya terima kasih (sabah), sendok (canca/tanca), kafe (keude kupi), jemuran (teumpat adee ija), dan lain-lain. “Ini hanya contoh.”

Ia menuturkan, peradaban Aceh pernah begitu megah di masa lalu, namun belakangan mengalami kemunduran antara lain karena peperangan berkepanjangan melawan penjajahan Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) dan Jepang, serta konflik dan kekerasan dalam rentang tahun 1945-2005. Menurut Farhan, kongres ini merajut ulang nilai-nilai positif dari Peradaban Aceh untuk dapat diwariskan ke generasi muda dan generasi mendatang.

Kongres Peradaban ini dimulai dari kegelisahan Mustafa Ismail, seorang pegiat budaya asal Aceh di Jakarta, tentang penguatan identitas sebuah daerah dan kota. Tadinya materi itu ia sampaikan saat ia menjadi pembicara dalam sebuah seminar kebudayaan di Tangerang Selatan. “Intinya sebuah kota dan sebuah daerah harus punya identitas yang kuat, tidak sekedar jargon,” ujar Mustafa, yang tercatat sebagai Anggota Dewan Kesenian Depok (DKD), Jawa Barat, ini.

Selama ini, banyak kota dan daerah hanya menjadikan jargon sebagai tagline mereka. Namun faktanya bertolak belakang. Nah, salah satu cara memperkuat identitas sebuah kota atau sebuah daerah adalah dengan kebudayaan. “Identitas itu akan lebih kuat jika digali dari kebudayaan atau dari nilai-nilai yang dipunyai oleh kota atau daerah itu,” ujar Mustafa yang kemudian didapuk sebagai sekretaris panitia persiapan kongres.

Masalah ini sempat pula dituliskan sebagai opini di sebuah koran nasional. Setelah itu, ia terlibat diskusi intens dengan Fahmi Mada, mantan wartawan yang pengusaha toko obat di Jakarta, yang konsen dengan persoalan ini. Fahmi pun bersemangat karena gelisah melihat problem identitas ini di Aceh makin terpuruk. “Nanti kita cari momentum untuk menggulirkan wacana ini,” ujar Fahmi, yang kini bendaraha panitia.

Lalu, pada suatu pagi, April 2015, terjadi diskusi yang ramai di grup Gerakan Stop Kekerasan (GSK), yang anggotanya beragam berlatar belakang dan berdomisili di berbagai tempat. Dari diskusi ini menguatkan gagasan untuk menggelar Kongres Kebudayaan demi memperkuat identitas keacehan. Lalu, Ahmad Farhan Hamid, mengusulkan agar titik bahasan diperluas menjadi peradaban sehingga mengusulkannama kegiatan itu sebagai Kongres Peradaban Aceh.

Diskusi kemudian juga menjalar di Grup Diaspora Aceh. Semua sepakat dan bersemangat. Bahkan, Anggota DPR Nasir Jamil, mengusulkan pertemuan segera diadakan beberapa hari sesudahnya. Lalu, pada 29 April, mereka pun bertemu untuk pembicaraan pendahuluan di sebuah kafe di Senayan, Jakarta. Pertemuan itu dihadiri anggota GSK dan Diaspora seperti Ahmad Farhan Hamid, Mustafa Ismail, Fahmi Mada, Reza Vahlevi, M Amin Usman, Zaini Djalil, Hamidy Arsa Noumery dan M Jamil Hasan (alm).

Pertemuan selanjutnya yang lebih khusus dan terfokus diadakan di sebuah rumah makan Aceh di kawasan Tebet pada 9 Mei 2015. Pertemuan itu dihadiri Ahmad Farhan Hamid, Fahmi Mada, Dokter Mahlil Ruby, Muhammad Amin Usman, Mustafa Ismail, Islamuddin Ismady, Nezar Patria, dan Fikar W. Eda. Pertemuan itu sekaligus membentuk panitia kecil untuk mempersiapkan dan mamatangkan gagasan ini. Selanjutnya, sejumlah pertemuan terus dilakukan untuk menggerakan kegiatan ini, termasuk mengkomunikasikan gagasan ini dengan berbagai pihak. ****

RILIS INI DIPERSILAKAN UNTUK DIKUTIP.

Berita Terkait

Leave a Comment