Peristiwa 

GSK dan Diaspora Gagas Kongres Peradaban Aceh

JAKARTA – Sejumlah warga Aceh yang tergabung dalam forum diskusi Diaspora Aceh dan Gerakan Stop Kekerasan (GSK) menggagas Kongres Peradaban Aceh. Konggres yang dijadwalkan pada Oktober 2015 itu akan mengambil tema “Mengangkat Kembali Bahasa-bahasa di Aceh”. Keputusan untuk mengadakan kongres itu diambil dalam sebuah pertemuan di Jakarta belum lama ini. “Output dari kongres ini adalah lahirnya kamus bahasa-bahasa di Aceh,” kata Ahmad Farhan Hamid, mantan Wakil Ketua MPR, yang didaulat menjadi ketua panitia kongres ini.

Pertemuan itu dihadiri para tokoh Aceh di Jakarta seperti Ahmad Farhan Hamid, Fahmi Mada, Dokter Mahlil Ruby, Muhammad Amin Usman, Mustafa Ismail, Islamuddin Ismady, Nezar Patria, dan Fikar W. Eda. Pertemuan itu sekaligus membentuk panitia kecil untuk mempersiapkan dan mamatangkan gagasan ini. Rapat-rapat pematangan terus dilakukan, termasuk malam ini (Jumat, 22 Mei 2015) di sebuah warung kopi Aceh di Jakarta.
Kongres itu akan diawali dengan diskusi terfokus (FGD) di Jakarta pada Juni 2015. Diskusi ini melibatkan sejumlah narasumber ahli untuk mempersiapkan konsep kongres itu. Setelah diskusi terfokus, akan diadakan Pra Kongres yang juga diadakan di Jartan pada Juli atau Agustus 2015. “Adapun kongresnya diadakan di Aceh,” sebut Farhan.
Gagasan kongres ini mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan. Banyak masukan diberikan kepada panitia sementara ini tentang agenda-agenda yang bisa mewarnai kongres ini. “Ini menunjukkan forum diskusi informal bisa melakukan sesuatu, tidak hanya sibuk berwacana,” sebut Fahmi Mada, geuchik di forum Diaspora Aceh dan Gerakan Anti Kekerasan.
Gagasan kongres ini memang dimulai dari diskusi di forum Diaspora Aceh dan GSK. Kedua forum itu beranggotakan warga Aceh yang tersebar di berbagai tempat, termasuk luar negeri, dengan berbagai latar belakang. Ada aktivis, politisi, birokrat, dokter, akademisi, pengusaha, hingga seniman dan budayawan. Mereka melihat bahwa salah satu persoalan penting di Aceh sekarang adalah soal identitas keacehan yang makin tergerus. Soal bahasa, misalnya. “Makin sedikit anak-anak muda di kota-kota di Aceh yang bertutur dalam bahasa Aceh,” sebut Mustafa Ismail, seorang pegiat budaya, yang didaulat menjadi keurani (sekretaris) dalam panitia persiapan kongres itu.
Fahmi Mada, penguasa toko obat di Jakarta, menilai sistem pendidikan di Aceh ikut memberi pengaruh terhadap menipisnya penutur bahasa daerah, tidak hanya lisan tapi juga tulisan. “Sejak saya disekolah dasar (MIN) tahun 1970-an, tak pernah mendapat pendidikan bahasa Aceh di sekolah,” ujar Fahmi yang dikenal sebagai mantan jurnalis ini. Sehingga orang Aceh sama sekali tidak pernah menulis surat kepada orang tua, keluarga atau teman dalam bahasa Aceh. “Ini berbeda dengan saudara kita dari Minang, Sunda dan Jawa.”
Semula, kongres ini dinamakan Kongres Bahasa Aceh. Namun, dalam sebuah pertemuan di Jakarta, disepakati bahwa kongres itu dinamakan Kongres Peradaban. Pertimbangannya, menurut Ahmad Farhan Hamid dalam pertemuan itu, jika nama kegiatan itu Kongres Bahasa Aceh akan mempunyai penafsiran bahwa hanya Bahasa Aceh yang dibahasa. Padahal di Aceh ada beberapa bahasa selain Bahasa Aceh, seperti bahasa Gayo, Aneuk Jamee, Bahasa Kluet dan Bahasa Tamiang. “Saya mengusulkan agar kongres itu namanya Kongres Bahasa-bahasa di Aceh.”
Namun, dalam pertemuan itu, disepakati nama Kongres Peradaban Aceh. Nama ini juga usulan Farhan dalam diskusi di forum diskusi GSK. Saat itu, anggota forum yang lain, Mustafa Ismail, mengusulkan nama Kongres Kebudayaan. Sebab, menurut penulis sastra itu, problem identitas tidak bisa dipisahkan dari persoalan kebudayaan. Maka untuk menggali dan memperkuat identitas harus berangkat dari menggali dan memperkuat kebudayaan. “Dan bahasa adalah bagian dari kebudayaan,” ujar Mustafa.
Kongres Peradaban Aceh nanti akan diisi dengan berbagai agenda, tidak hanya seminar. “Nanti kita juga bisa adakan festival film Aceh,” sebut Nezar Patria, wakil pemimpin redaksi sebuah media online terkemuka yang belakangan aktif menulis puisi.
Di luar forum panitia, masukan terhadap acara ini terus datang dari berbagai kalangan. Cerpenis Aceh Saiful Bahri, misalnya, mengusulkan nanti diadakan pula lomba sastra dalam bahasa Aceh, seperti lomba nulis dan baca puisi dalam bahasa Aceh. Pengumuman pemenang bisa dilakukan di malam puncak penutupan kongres itu. “Selain itu bisa juga ada pidato kebudayaan dalam bahasa Aceh di malam puncak itu,” sebut mantan Sekretaris Dewan Kesenian Banda Aceh ini. [*]

Berita Terkait

Leave a Comment