Konstelasi Sastra Aceh
— Melihat Perkembangan Sastra Aceh Lebih Dekat)
Oleh: D. Kemalawati | Penyair
1. Sekilas Perkembangan Sastra di Aceh
Membicarakan sastra di Aceh, tentu memerlukan uraian yang sangat panjang. Karena daerah ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah, agama dan budaya di Nusantara setidak-tidaknya sejak akhir abad ke-14 terutama abad ke-16 dan 17. Terutama dalam bentuk sastra sufi (tasawuf)—salah genre sastra Melayu dalam tahap awal—yang harus diingat adalah sastra Melayu yang lahir di Aceh adalah ibu sastra modern Nusantara (dalam sekop kecil Indonesia). Kalau ada sejarah yang berpendapat lain, dapat dikatakan hilang jasa kapak oleh jasa ketam. Kejayaan dalam bidang sastra ini dibuktikan dengan lahirnya tokoh-tokoh sufi tasawuf yang agung, sebut saja Hamzah Fansuri, Samsuddin Pasai, Abdul Jamal, Abdurauf Singkil, Bukhari al-Jauhari, Nuruddi ar-Raniri, dan lain-lain—namun sampai sekarang sastra sufi Melayu terutama dalam bentuk puisi belum dikaji dalam volume yang cukup besar, bandingkan dengan tasawuf puitik Parsi telah diselidiki secara ilmiah dalam bentuk makalah dan buku yang tidak terhitung jumlahnya.
Saya tidak akan penjang lebar membicarakan hal di atas, karena sesuai dengan tema yang diberikan kepada saya, maka saya akan membatasi kajian makalah ini dengan perkembangan sastra di Aceh dalam konteks kekinian—walaupun nantinya sedikit akan membicarakan perkembangan sastra di Aceh serta permasalahan. Saya harap akan timbul diskusi dalam forum ini, sehingga dapat menemukan solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut. Selepas kejayaan sastra sufi di Aceh (sampai abad ke-19), maka perkembangan dunia tulis (sastra) yang telah terbina dengan baik mulai memudar. Hal ini, mungkin disebabkan jatuhnya Dalam Sultan (keraton) ke tangan Belanda (awal Januari 1874)—hanya beberapa orang saja yang aktif menulis, salah satu diantaranya Tuwanku Raja Kemala (1880-1930)—Beliau banyak mengarang, menulis, menyalin kitab-kitab agama, nadham, syair dan berbagai karya sastra yang indah serta mengumpulkan dan menelaah karya-karya ulama terdahulu—salah satunya adalah Kitab Akhbarul Karim. Setahu saya, selepas ini penulisan karya sastra di Aceh mengalami kepakuman yang panjang. Barulah muncul lagi jaman Angkatan Pujangga Baru diantaranya A. Hasjmy (saya tidak berani menyebutkan A. Hasjmy sebagai pelopor Angkatan Pujangga Baru di Aceh, karena hal ini memerlukan kajian secara mendalam dan ilmiah, walaupun pada dasarnya Beliau adalah salah seorang penyair yang menonjol dan kreatif), Acmad Rivai Nst, Agam Wispi, A.G. Mutyara, Alisyah, Bakri Siregar, Abu Kasim, Chalidin, Ashalludin, Daman, Harun Rasyid , dan lain-lain. Selepas itu, muncul angkatan pertengahan To’et, LK Ara , M.A. Iskandar, Basri Emka, Fauziah Nurdin, Free Hearty, Hasbi Burman, Barlian AW, Syamsul Kahar, Hasyim KS, Isnu Kembara, Rosni Idham, Nurdin A Rahman, dan lain-lain. Berikut angkatan konflik Fikar W Eda, Muhamad Harun al-Rasyid, Doel CP Alisyah, Helmi Hass, D. Kemalawati, Wina SW1, Wiratmadinata, Nurdin F Joes, Maskirbi, M Nurgani Asyik, Siti Aisyah , dan lain-lain. Terakhir angkatan tsunami yang dominasi oleh anak-anak muda terutama kalangan mahasiswa dan siswa SLTA.
2. Sastra di Aceh Dalam Konteks Kekinian
Sebelum saya membahas tema tulisan bagian kedua ini, terlebih dahulu saya ingin mengklasifikasi berdasarkan tema yang mendominasi setiap angkatan hal ini nantinya berguna untuk melihat kejadian-kejadian (sejarah) yang terjadi di Aceh—karena karya sastra lahir tidak pernah dalam kekosongan, ia lahir akibat refleksi keadaan yang terjadi pada jamannya—waktu karya sastra tersebut ditulis (diciptakan). Angkatan Sufi didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas . Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti . Walaupun pada jaman ini, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama persengketaan antara mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya-karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru, seperti halnya penyair-penyair angkatan ini di Indonesia didominasi oleh tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu. Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi jaman tersebut. Bermula dari “pemberontakan ” DI/TI yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak tahun 1976 yang dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada tahun 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer berakhir pasca tsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM. Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan.
Bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah meluluh-lantakkan sebagain besar wilayah Provinsi NAD dengan menelan korban ratusan ribu jiwa manusia dan kerugian secara material yang tidak dapat dihitung. Sendi-sendi kehidupan diberbagai bidang terpuruk secara drastis, termasuk bidang humaniora yang meliputi bahasa, sastra dan budaya.
Pasca bencana tersebut dengan masuknya berbagai bantuan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri telah membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Terjadinya pembauran budaya secara global telah memberikan dampak yang lain dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Aceh berangsur-angsur mengalami krisis identitas. Padahal globalisasi seperti ini tidak serta merta berarti penggantian segala sesuatu yang lama dengan yang baru. Dalam kenyataannya, baik unsur-unsur lama maupun unsur-unsur baru hadir berdampingan dalam globalisasi.
Dalam situasi seperti ini identitas pun mau tidak mau mengalami pendefinisian ulang. Jika pada waktu lampau identitas dipahami sebagai suatu hakikat yang harus dicari dan ditetapkan dengan tujuan untuk dipertahankan. Kini dalam kondisi seperti ini, identitas barangkali harus lebih dilihat sebagai suatu proses daur ulang yang bukan hanya bertujuan untuk memapankan suatu identitas, melainkan lebih bertujuan untuk mencegah agar identitas tersebut tidak mengalami stagnasi.
Pada sisi lain, ternyata dengan kondisi di atas, orang ingin selalu berkabar pada orang lain tentang apa yang dialaminya serta kondisi lingkungannya. Salah satu cara yang tepat untuk mengungkapkan suasana hati tersebut yaitu melalui media dan media yang tepat adalah melalui karya sastra. Maka bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru—dalam hal ini saya akan menitik beratkan pembicaraan mengenai muka-muka baru tersebut. Secara subtansial tidak dinafikan bantuan-bantuan yang mengalir ke Aceh baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri telah mempengaruhi dunia sastra khususnya. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan, serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan. Mulai dari perkumpulan ibu-ibu PKK, LSM, NGO, Instansi pemerintah dan swasta sampai perkumpulan-perkumpulan yang didirikan oleh anak-anak muda. Secara abstrak kondisi seperti ini sangat mengembirakan kita, dan kita sangat berharap Aceh bisa menjadi sentral budaya dan sastra lagi seperti angkatan sufi. Dalam catatan penulis ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang dalam terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra di antaranya; Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute, dan lain-lain . Ada lebih dari 40 buku karya sastra hadir di Aceh dan dikemas dengan baik oleh lembaga yang bergerak dalam bidang sastra tersebut. Lembaga yang sebelum terjadinya bencana tsunami lebih pada kegiatan kelompok diskusi kini memperoleh sedikit kemudahan dalam mendokumentasikan karya sastra para sastrawan Aceh, baik yang menetap di Aceh maupun mereka yang di luar Aceh. Kepedulian terhadap sastrawan senior meskipun mereka telah tiada terlihat pada beberapa buku karya mereka yang telah diterbitkan kembali, seperti karya Hasyim KS, karya Maskirbi, juga karya Nurgani Asyik.
Penerbitan karya sastra ini pun beragam adanya, mulai dari antologi puisi bersama seperti: 8.9 Skala Richter Lalu Tsunami (Bangkit Aceh, 2005), Ziarah Ombak (Lapena, 2005), Lagu Kelu (ASA, 2005), Lampion (Lapena, 2007), dll. Buku puisi tunggal pun bermunculan, seperti: Surat Dari Negeri Tak Bertuan (D Kemalawati, Lapena 2006). Nyanyian Manusia ( Mohd Harun Al Rasyid, Lapena 2006), Nyanyian Miris (Doel CP Alisyah, ASA 2007), Agam Dengan 99 Nama (Wiratmadinata, Aneuk Mulieng Publishing 2007), Garis (Wina SW1, Lapena 2007), Tarian Cermin (Mustafa Ismail, ASA 2007), Suatu Malam di Rex (Hasbi Burman, ASA 2007). Beberapa Novel yang berkisah tentang konflik dan tsunami juga dapat kita temukan seperti: Tungku (Salman Yoga, Aneuk Mulieng Publishing , 2006), Malam Memeluk Intan (Sulaiman Tripa, Flp 2005), Seulusoh (D Kemalawati, Lapena 2007), Akhirnya Senja (Sulaiman Tripa, Lapena 2007), dll. Beberapa penulis novel Aceh mempercayakan penerbitan karyanya kepada penerbit di luar Aceh seperti Arafat Nur dan Ayi Yufridar.
Beberapa buku sastra Aceh juga telah dialihbahasakan ke beberapa bahasa, bahkan ada yang berani menulis dalam bahasa Aceh, Indonesia dan Inggris. Beberapa kumpulan cerpen hadir dengan memikat seperti: Pada Tikungan Berikutnya (Musmarwan Abdullah, Lapena 2007), Sarenade Senja (Nani Hs, ASA 2007), dll. Ada juga beberapa kumpulan tulisan yang dituliskan tentang budaya, Yang menarik adalah adanya beberapa kelas menulis yang dikelola oleh lembaga-lembaga swasta yang kemudian membukukan karya para siswanya seperti: Dandelion (Amuk, 2007), Gampong Dalam Goa ( Aneuk Mulieng Publishing, 2006), Biarku Bercinta Sendiri (Lapena, 2007), dll.
Penerbitan buku karya sastra justru lebih menggeliat pascatsunami. Ketika konflik memang ada beberapa buku sastra yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian baik Dewan Kesenian Aceh maupun Dewan Kesenian Kota Banda Aceh, seperti Keranda-keranda, Dendam Airmata, Remuk, dll dari Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB). Ada juga majalah Tingkap serta antologi Putro Phang dari Dewan Kesenian Aceh (DKA), tetapi tentu tidak sebanding dengan pascatsunami yang justru penerbitan lebih banyak dari lembaga yang bergerak dibidang kebudayaan. Menarik memang, masing-masing lembaga telah bergeming dan terus berbuat meski ada diantaranya yang mengandalkan laku buku di pasaran dan dengan dana minim berani mengambil resiko menerbitkan buku sastra yang konon susah sekali terjual. Tentu ada juga lembaga yang telah punya panding besar hingga memudahkan membiayai penerbitan. Tapi yang utama dari semua ini adalah Saling mendukung antara penerbit yang notabenenya diurus oleh para sastrawan ataupun mereka yang sangat cinta terhadap karya sastra.
Penghargaan terhadap karya sastra juga kelihatannya mulai membaik dengan adanya Anugerah Sastra dari pemerintah NAD, meski kalau dinilai dari nominalnya tidak seberapa. Melalui Dinas Kebudayaan pemerintah Aceh juga memberi peluang kepada para penulis cerita anak, hikayat, pantun dll, untuk mendokumentasikan karyanya dalam bentuk buku. Ada juga peran yang meskipun tak sebanding dengan rekontruksi bidang pisik yang diberikan oleh Badan Rehabilitasi Rekontruksi (BRR NAD-Nias) dalam hal karya dan apresiasi karya sastra, seperti dukungan BRR pada kegiatan Sastrawan Masuk Sekolah (Lapena, 2006). Kegiatan ini melibatkan 37 sastrawan Aceh masuk ke sekolah di setiap kota kabupaten se Nanggro Aceh Darussalam. Kegiatan yang disambut positif di seluruh kota itu tidak hanya melibatkan sastrawan yang berdomisili di Banda Aceh sebagai ibukota Propinsi, juga melibatkan sastrawan daerah dan merupakan ajang temu penulis yang sangat bermanfaat untuk mensosialisasikan karya sastra ke daerah-daerah.
Hampir semua lembaga yang bergerak di bidang sastra menggeliat tidak hanya di Banda Aceh tetapi juga hingga ke daerah-daerah. Tikar Pandan dengan beberapa jaringannya memiliki program mengembangkan sastra tutur dengan melibatkan Agus Nuramal dengan PMTOH-nya disamping menerbitkan karya sastra baik dari hasil sayembara maupun karya para lulusan sekolah menulis Do Karim. Nampaknya sekolah menulis Do Karim telah memulai genre baru dalam penulisan sastra di Aceh.
Adapun tema yang mengalir dari angkatan tsunami ini sangat beragam, walaupun pada awalnya didominasi tema tragedi kemanusiaan (tentang korban tsunami) dan ketuhanan (kepasrahan). Namun seiring dengan waktu—dalam konteks kekinian tema-tema tersebut tidak lagi didominasi tema-tema di atas, tetapi sudah diperkaya dengan tema-tema menggugat (ketidak-adilan pemerintah), serta tema-tema umum lainnya.
3. Permasalahan yang Dihadapi
Berangkat dari catatan yang menggembirakan di atas ada beberapa kendala yang dihadapi dari lajunya perkembangan sastra di Aceh. Dan saya yakin kendala ini akan menjadi bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan “meluluh-lantakkan” lagi perkembangan sastra di Aceh. Untuk lebih jelasnya saya akan membagi-bagi kendala yang dihadapi dan akan dihadapi oleh sastra di Aceh ;
1) Faktor pemerintahan; dengan banyaknya bantuan yang mengalir ke Aceh seperti yang telah disebutkan di atas, sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah—baik pemerintah pusat maupun daerah. Nampaknya pemerintah sampai saat ini hanya menitik-beratkan pembangunan di Aceh dalam segi fisik saja. Dan “menganak-tirikan” pembangunan batin, dalam hal ini termasuk pembangunan budaya dan sastra di Aceh. Tentu saja hal ini, merugikan perkembangan sastra khususnya. Saya yakin kalau hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka Aceh akan kehilangan jati diri dan kebudayaannya akan “dijajah” oleh kebudayaan asing.
2) Faktor ketergantungan: pada umumnya perkumpulan-perkumpulan yang eksis di atas, secara material mengalami ketergantungan pada lembaga-lembaga panding baik lembaga yang dikelola pemerintah (BRR), maupun bantuan dari luar negeri. Ketidakmandirian ini, saya rasa sangat merugikan karena suatu saat lembaga-lembaga panding tersebut meninggalkan Aceh, maka dapat kita tebak ada dua kemungkinan yang akan terjadi; (1) tetap eksis tapi berjalan dengan tersendat-sendat, dan (2) membubarkan diri.
3) Faktor media massa; kelahiran karya sastra di Aceh tidak diimbangi oleh kebijakan lokal yang diterapkan media massa padahal media massa sangat penting untuk menyalurkan (mempublikasikan) karya-karya tersebut. Hal ini, berdampak pada “mati”nya kembali bibit muda yang telah terbina karena faktor membuat mereka tidak punya wadah untuk menampung karya dan apresiasi mereka.
4. “Kemiskinan” Kritikus Sastra di Aceh
Sebenarnya pembahasan ini masuk dalam pembahasan ketiga, tetapi sengaja saya uraikan dalam pembahasan tersendiri. Dengan alasan kondisi ini tidak saja melanda sastra di Aceh tapi juga sastra di Indonesia secara umum. Kita sangat berharap lahirnya para “pembedah” sastra dari kalangan akademik. Tapi kenyataannya tidak sedikit peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkan dari kritik sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan berhasilnya tidaknya karya sastra yang secara konkret dihadapi penelaah. Harapan tersebut tidak terkabul karena yang disibukkan para dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi adalah pemahaman berbagai teori sastra modern yang kebanyakan bersifat formalitas, yang mengandung deskripsi umum tentang kesusastraan dengan gejala-gejala khas yang melekat padanya. Ditekankan juga pada kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Derajat ilmiah ini yang menjadi sasaran pokok pada kritik sastra yang akademis.
Justru dengan menitikberatkan teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra. Yang berlalu adalah deskripsi secara ilmiah, artinya yang objektif, sistematis dan rasional, dan dikesampingkan unsur-unsur pendekatan yang biasa kita jumpai dalam kritik sastra sebelumnya, seperti kepekaan pada penelaah, penghayatan atau empati, bahkan pencarian nilai atau pelibatan masalah sosial dan budaya.
Ketika “kemiskinan” dibiarkan serta problem yang dihadapi kalangan akademis tersebut tidak dapat diatasi, maka kita jangan berharap terlalu banyak tentang penilaian mutu karya sastra kita. Dan jangan pernah disesali kalau karya sastra kita tidak akan pernah mampu bersaing secara global. Saya sebagai pelaku seni sangat “bermimpi” lahirnya kembali HB Jassin, Sastro Wardojo, Sapardi Djoko Darmono yang baru. Semoga!
Banda Aceh, Desember 2007