Sosok 

AA Manggeng, Yang Hilang di Musim Badai

Nama aslinya Asnawi Aida. Namun, di kalangan seniman, ia lebih dikenal dengan nama AA Manggeng. Ia adalah penyair, aktor teater sekaligus sutradara panggung. Ia lahir di Manggeng, Aceh Selatan, pada 10
Februari 1964 dan .meninggal di Banda Aceh pada 27 Maret 2010. Berpendidikan SPK spesialis jiwa, Bogor (1988), ia mengabdi di Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh.

Tulisan-tulisannya telah tersebar diberbagai media massa di Aceh, Medan, dan Jakarta, seperti; The Jakarta Post, Waspada, Serambi Indonesia, dan Dunia Wanita. Karyanya terkumpul dalam L.K. dkk (ed.) Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (1995), antologi puisi dan lukisan Dalam Beku Waktu (2002), antologi sastra Putroe Phang (
2002).

Semasa hidupnya, penyair ini pernah menjadi Sekretaris Eksekutif di Dewan Kesenian Aceh ini (2000—2004), pegiat di Teater Mata, dan sempat bekerja sebagai Direktur Budaya di BRR Aceh-Nias selama beberapa tahun. Selain menulis, ia juga menyunting sejumlah buku seperti antologi puisi HAM Keranda-Keranda (ELSAM Jakarta), Kumpulan Cerpen Remuk (DKB), Kumpulan Essai; Takdir-Takdir Fansury (DKB).

Ia banyak menulis sajak-sajak bernada protes terhadap berbagai persoalan di Aceh, mulai persoalan politik, konflik Aceh, hingga persoalan hutan yang makin gundul. Berikut beberapa puisinya yang dikutip dari berbagai sumber.

YANG HILANG DI MUSIM BADAI

Aku cari engkau saudaraku yang sudah lama tidak
kembali
apakah musim badai tanah rencong ini
telah mendekapmu di penjara-penjara rahasia
suara tidak selalu menjadi kata, saudaraku
untuk itu ingin kupastikan nurani atas kehilanganmu
apakah engkau mendengarnya dari sukma bumi
yang bernafaskan air mata

saudaraku,
hujan dan cahaya kunang-kunang
memberi isyarat duka cita atas kepergianmu
jangan kuburkan kebenaran, saudaraku
hanya karena keterpaksaan
bersuaralah meskipun tak jadi kata
kami mendengarnya di musim gugur daun-daun muda
berumahkan pepohonan tumbang yang tercabut akarnya

pastikanlah saudaraku
jika engkau bersama Tuhan menunggu pengadilan akhir
riwayat
tinggal risau kami di jalan-jalan penuh gelagat
saat manusia memutuskan keadilan di meja hijau
adakah suaramu bergema dari kubur rahasia
sebab ada pertanyaan yang belum terjawab:
“berapa harga kemerdekaan dibanding nyawa?”

Aceh, 1991

LENYAP – SENYAP

Unggun kemuliaan di kamar tidur saudaraku
Telah redup oleh silau cahaya yang menyusup

Ketekunan yang ditidurkan jadi rayap-rayap
Merobohkan tiang penyangga rumah

Jangan berkata mungkin
karena pemusnahan

Jangan berkilah janji
karena mungkir

Hidupkan bara dengan napas cinta
Dan yang pergi dari keterkejutan
Adalah keriuhan yang mengabaikan sunyi

Unggun kemuliaan tepiskan silau cahaya
Dengan membuka celah lebih terbuka
Lalu tatap lekat-lekat diluar yang saudaraku anggap gelap.

Ketekunan yang dirampas rayap-rayap
Musti diganti dengan tiang keimanan
Sebab kelalaian terlalu mengendap-endap.

Aceh 1993

DINIHARI DI TAMAN KAMBOJA

(Elegi dari Idi Cut)
bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman
padahal angin sangat bersahabat malam itu
di jalan-jalan mencekam
isyarat kedukaan tanpa terduga

bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman
aromanya ditiup angin ke seluruh penjuru
siapa yang sanggup menutup rahasia duka
atas kebiadaban manusia

pohon kamboja yang tumbuh di taman kita
penghias kebun-kebun negeri
adalah dia yang lahir dari sejarah
lalu gugur bunganya
luruh daunnya
tercabut akarnya
tumbang batangnya

kamboja, bunga kamboja
seorang ibu mencari anaknya
yang terkapar di bawah rontokan bunga
dalam gelimangan darah bersama orang-orang
yang tak tahu apa-apa.

Aceh, 3 Februari 1999

YANG TERTEMBAK TAHUN ITU

Unggas
dengan sayapnya
yang bertaburan di aspal jalan baru
dan rusa bermain dengan anaknya,
pincang !

Orang-orang kampung kebagian tetes darah
yang tergores pada setiap tanda tangan.

Aceh, 1990

HPH HPHH

nyiur hijau indonesiaku subur yang dinyanyikan
tidak lagi masuk dalam sukma
lagu syukur pada penutup rangkaian acara televisi
dengan hamparan keindahan alam
juga mengajak indonesia bersyukur dalam gambar
sebelum tertidur

impian putra-putri bangsa merambat kehutan-hutan
merambah rimba raya tempat berteduhnya penyanyi alam
tanpa meminta gedung-gedung pencakar untuk berlindung
di sini damai bersama pepohonan

badut-badut dengan topeng wajah majikannya
menyingkirkan suara-suara alam dan
kicau burung terusir ke padang tandus tak bertuan
indonesia berkibar ke atap-atap dunia lewat lagunya yang merdu

hari ini lembar-lembar surat keputusan
menyumbat mulut penyanyi alam yang khitmat di rimba
berteduh di bawah rimbun indonesia yang dibanggakan
berjuta-juta orang semakin tak mengerti makna
yang dilagukan
badut-badut dengan suara sumbang
membeo isi kertas yang sudah dibubuhi tanda tangan.

– Nyanyian Pantai Selatan, 1990

PERANTAU

Anak-anak kampung tinggalkan desa
orang-orang kota linglung, mencari
kampung asalnya.

Jakarta, 17 Pebruari 1987

EKSEKUSI

bagi : Basri Masse

Adalah
Keputusan yang diragukan dalam hati.

PRAHARA

Mengapa ibu menutup pintu dan mengurung diri dalam rumah
Sedang aku diluar mendiamkan kegelisahan diri

Ibu tidak lagi membuka jendela rumah
Ia mengurung angin malam dalam kesendiriannya
Anak-anak yang diharapkan kembali telah pergi
Tanpa alamat negeri yang dituju

Kabar terakhir jalanan sepi
Berita kematian tanpa nama
Membungkus doa-doanya
Untuk sampai kepada Tuhan

Dalam ketakutan ibu berkata :
“Anjing piaraan kita sudah tidak setia
Ia melolong sekehendak hatinya
membuat kita gusar dan mencari-cari penyebabnya
Ternyata anjing kita dihantui ketakutan juga rupanya”.

Aceh, 1999

———–
MI | DARI BERBAGAI SUMBER

Berita Terkait

Leave a Comment