Waktu Dini Hari Hingga Malam Jingga Deny Pasla
Deny Pasla salah seorang penyair penting di Aceh. Ia memilih arus puitikal berbeda dengan banyak penyair di
Aceh seangkatannya yang cenderung “meledak-ledak” dan “frontal” dalam menyampaikan sikap dan kesaksiannya.
Sajak-sajak Deny lebih lembut, lebih kontemplatif, bahkan cenderung romantik. Namun itu semua tanpa meninggalkan daya dorongnya untuk menyikapi beragam persoalan di Tanah Rendong.
Penyair ini lahir di Langsa 22 November 1968. Aktif menulis sajak, cerpen, esai, dan opini sejak 1980-an di media sejumlah media, seperti Serambi Indonesia (Aceh), Waspada, Analisa (Medan), Suara Karya dan Republika. Puisi termujat di beberapa kumpulan bersama, antara lain Maha Duka Aceh (2005), Ziarah Ombak (2005) dan 8,9 Scala Righter (2005). Alumni jurusan Sejarah dari Universitas Syiah Kuala ini kini menjadi guru di sebuah sekolah di Kuala Simpang, Aceh Tamiang. [infosastra.com]
Deny Pasla
AKU BERPIKIR BEGINILAH RUPA KITA
aku berpikir beginilah rupa kita
saat bencana datang bergelombang
wajah-wajah welas, pemurah yang menipu para dewa
sesudahnya kembali murka.
di cermin bukan sesungguhnya perupa
menampilkan raga
ada kisi-kisi iblis mencoba tampil sama
aku berpikir beginilah rupa kita
wajah para aulia yang megangkat kedua belah tangannya
meminta kekuatan maha cinta
tetapi dimanakah sang penyihir sembunyi
mantra-mantranya mengendam telinga
kita berubah tiba-tiba menjadi mahluk buas.
aku berpikir beginilah rupa kita
penjinak mantra jiwa
2013
WAKTU DINI HARI
aku menunggumu waktu dini hari
gerimis terperangkap di jalan-jalan kota yang lengang dan basah
saat kau tiba dengan bus antar kota
jam berapa sekarang?
orang-orang pada menekuk lututnya setara dagu
menahan dingin yang teramat menusuk
satu-satu pedagang harapan
menutup lapak jajanan
tinggal perempuan tua
dengan ringkih menawarkan tubuhnya
pada malam jahanam
jam berapa sekarang?
aku tak lagi melihat para pengemudi becak
bertarung hidup
para gelandangan memaksakan lapar diperutnya
memuncak.
tak ada yang tersisa dini hari tadi
kecuali kemesuman kota dan bau sampah dimana-mana.
2013
EPISODE MALAM JINGGA 1
bicaralah kekasihKu, apa kerisauan ini
membuat kita menjauh?
hingga aku remuk dalam bentuk keputusasaan?
padahal bukan kali pertama kita berjumpa,
bahkan kau teramat mengenalku.
tak sedetikpun luput dari tatapan mataMu itu.
aku butuh kau dekap hingga malam jingga
sujud khusuk.
EPISODE MALAM JINGGA 2
Berdiri aku sunyimu.
Lelah mencari kelopak bunga api,
membakar semua rindu, sekalipun telah kau sulut
bibir ini dan kukecup kening lantaiMu.
Dengan apa kurasa hangan mendekap,
sementara kau begitu rapat
sampai tak dapat kusentuh?
Dengan apa kuraba kau kekasihKu
jika rindu sekar rayu?
Lantas meranggas rindu?
DARI LUKA SETUBUH KITA
mereka sudah lahir dari luka setubuh kita:
katamu lirih melemas, seraya meremas puting
birahiku dari pertapaan beku ini
seharusnya kita berdamai saja dengan hati,
membiarkan birahi dingin sendiri
tak ada yang perlu dirisaukan
karena mereka ada dalam darah kita,
ada dalam nadi kita
menjadi ruh yang leluasa bergerak
seperti udara pada jaring-jaring api sekalipun,
mendamaikan birahi
aku tak percaya persetubuhan itu menjadikan doa-doa
kita
tak suci, apalagi kespeian ini menjadikan ita begitu
dekat
kegundahan anak-anak kita yang lahir,
kemudian kehilangan kasih sayang di taman kota
merupakan hal yang biasa
meski selalu menyisakan dendam di belakangnya
mereka memang lahir dari luka setubuh kita.
DAMAI HUJAN MATAHARI
laut mati, camar membentangkan sayap angin di atasnya
menyeru gerimis.
ritual ini membangunkan ruh yang dibutakan kebencian
berabad-abad lamanya
tetapi perih itu juga yang sampai dikirim angin
duka itu juga yang dilukis gerimis
kematian itu pula yang dibentangkan camar
mungkin dengan begitu tak ada yang perlu dirisaukan
karena semua telah terencana pada telapak tangan kita
2004
REQUEST HITAM PUTIH
bagaimana mungkin kuceritakan kembali padamu
seperti apa murungnya pagi itu?
Kau melambai dalam pasang gelombang,
bergantung pada keramahan angin dan membaringkanmu
di taman langit.
Ribuan penghuninya menyambut gembira
membiarkanmu mengintip hari-hari yang lewat
dari celah daun ar’asy
Betapa semerbak tubuhmu dibalut zaitun.
Aku merasakannya setiap kali hujan turun dan
mendung menggantung
Bagaimana kuceritakan kembali padamu
seperti apa murungnya pagi itu
2005
—-