Ramadan yang Suram
Cerpen: Musmarwan Abdullah | @Musmarwan_Abd …
OH, kami minta maaf,” kata tentara itu. “Kalau dia memang teman karib Anda, kami minta maaf,” sambung dia sambil memeluk senjata otomatis laras panjang di pangkuannya. “Dia memang target “A-Satu” kami. Saya benar-benar minta maaf. Dia benar-benar target “A-Satu” kami di kecamatan ini. Oh, saya benar-benar minta maaf.”
“Tidak apa-apa,” jawabku seraya mengalihkan pandang dari wajahnya ke gelas kopi di depan kami. “Kami kawan sekelas,” sambungku. “Malah sebangku waktu SMP. Hanya sampai kelas dua. Dia menghilang sebelum kami sampai di kelas tiga. Beberapa tahun setelah itu baru saya tahu bahwa kami telah menempuh jalan hidup yang berbeda. Tak apa-apa. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Malam hening sejenak. Ada yang tiba-tiba merayap bagai ular kecil yang menjijikkan, yaitu semacam suasana tak enak di antara kami. Tadi dia dengan bangga mengabarkan pada kami bahwa pasukannya baru saja menembak mati seorang pemberontak yang bernama Hanafiah.
“Hanafiah?”
“Ya.”
“Orang mana?”
“Orang Pasi Lhok.”
“Kapan ditembak?”
“Tadi pagi, di tepi pantai.”
“Oh, itu kawan akrab saya.”
Ungkapan spontan bahwa Hanafiah itu kawan akrab saya, langsung membuat wajah bangganya muram. Dia benar-benar menyesali kebahagiaannya, kebahagiaannya atas seseorang yang tiba-tiba tersentak kaget, kaget karena mengetahui seorang sahabat SMP-nya mati ditembak.
Meski tidak sepakat, kami tak lagi berpanjang-panjang soal Hanafiah yang tertembak. Sepertinya kami sama-sama berusaha untuk segera berhenti berpura-pura, kendati tingkah kami kelihatan serba-salah. Padahal, biasanya, tentara-tentara sangat bangga bercerita panjang-lebar soal keberhasilan mereka menghabisi musuh.
***
Malam ini, usai shalat Tarawih, aku dan tentara itu kembali berjumpa di tempat biasa – warung kopi di tengah kota kecamatan. Kami duduk bertiga di sebuah meja. Aku, dia dan Pak Hamidi. Pak Hamidi adalah seorang guru SMP. Guru-guru lain umumnya sangat membatasi pergaulannya dengan anak-anak muda, tapi Pak Hamidi tidak. Dia berkawan dengan siapa saja, meski itu pemuda mantan muridnya sewaktu SMP, seperti aku.
Dalam keseharian, terutama sore-sore menjelang tibanya waktu berbuka puasa, aku dan Pak Hamidi suka berbicara tentang situasi nanggroe kami yang tengah gelisah. Tapi tiap duduk bertiga dengan tentara itu, kami hanya berbicara mengenai hal-hal keseharian; atau tergantung tentara itu, apa yang ingin dia bicarakan. Malam ini kami berbicara tentang keluarga. Tentara itu memiliki dua anak di kampungnya, di Pulau Jawa. Dua-duanya masih belia. Dia sangat merindukan mereka. Sudah berbulan-bulan ia tak menatap dua buah hatinya itu, yakni selama bertugas di negeri kami. Memerangi para pemberontak.
Memerangi pemberontak bukan berarti hanya sebatas memerangi para pemberontak. Pemberontak itu juga sama seperti tentara. Punya senjata. Sebagaimana tentara yang setiap saat rasa-rasanya ingin terus menghabisi pemberontak, pemberontak pun tak pernah jeda berpikir bagaimana caranya untuk menghabisi tentara. Semua tentara tahu itu. Tentara teman kami pun tahu itu.
Jadi keberadaan tentara itu di negeri kami hanya dalam dua sikap mental selama berbulan-bulan, kalau bukan malam ini dia akan menghabisi pemberontak, mungkin esok pagi dia yang akan ditembak pemberontak. Agaknya dalam kondisi jiwa itulah dia merindukan anak-anak dan istrinya. Betapa rindu itu seperti nyala obor dalam badai. Betapa rapuh ia membayangkan kerinduannya yang menggebu-gebu, atau betapa menggebu-gebu ia membayangkan kerinduannya yang rapuh.
Dia mungkin tidak dapat bercerita semua itu dengan penuh perasaan pada teman-teman yang semua mereka adalah anak buahnya. Dia adalah komandan. Mungkin ada batasan keakraban yang harus dijaga antara komandan dan anak buah. Sedangkan dengan kami, hubungannya tanpa sekat. Bebas. Seperti berbincang dengan sahabat masa kecil.
Kisah perkenalannya denganku, Pak Hamidi dan teman-taman kami yang lain terjadi saat dia dan pasukannya baru dipindahkan ke kecamatan kami. Mereka perlu berhubungan dengan unsur-unsur pemuda dan masyarakat setempat. Kami tidak tahu apakah itu wajib bagi mereka atau hanya kebetulan semata, atau hanya untuk sekedar menambah-nambah teman di setiap kecamatan yang disinggahi.
Kami adalah sekelompok pemuda yang berasal dari berbagai kampung di seputar pasar kecamatan. Tiap malam kami menghabiskan separuh malam di tengah-tengah pasar dengan bercengkrama. Kecuali bulan puasa, kadang-kadang kami bermain gitar, sambil duduk berderet di pilar-pilar jembatan yang menghubungkan kota kecamatan serta dibelah oleh Krueng Tiro.
Tentara pindahan dari luar sering keluar ke pasar untuk minum kopi dan bersantai. Mereka biasanya keluar berjalan kaki bertiga dengan pakaian loreng dan senjata lengkap. Markas mereka terletak di penghujung sebelah utara kota. Hanya butuh sekitar dua puluh menit kalau berjalan kaki dengan santai untuk menuju ke tengah-tengah pasar. Pada malam hari hanya ada sebuah warung kopi yang tetap buka sampai menjelang makan sahur, warung kopi Bang Win. Di warung inilah kami sering berkumpul. Begitu juga setiap tentara yang ingin berakrab-akrab dengan pemuda setempat, mereka harus ke warung kopi Bang Win dan itu pada malam hari.
Siang hari, saat bukan bulan puasa, warung Bang Win penuh dengan orang-orang yang keluar-masuk bertukar-tukar minum kopi di antara aktifitas pasar mereka. Suasana pasar kecamatan sangat ramai pada siang hingga sore hari. Saat-saat seperti itu pemuda-pemuda-malam tidak terlihat. Kami pun sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sebagai petani, penarik ojek, penjual togel, pegawai rumah sakit, penambang pasir, guru, penjual ganja dan pegawai kantor pemerintah seperti saya. Hanya pada malamnya kami baru berkumpul di warung kopi Bang Win.
“Assalamu’alaikum,” ucap tentara itu seraya masuk ke dalam warung bersama dua rekannya dengan pakaian loreng dan senjata laras panjang menyilang di punggung. Itu adalah awal perkenalan kami dengan tentara itu sepekan lalu. Dan kami pun membalas salamnya, “Wa’alaikumsalam,” ucap kami berbarengan. Lalu dia merapat ke meja kami, menyalami kami satu per satu.
“Kami baru dua hari bertugas di sini,” kata tentara berbasa-basi. Lantas, seseorang di antara kami menimpali, “O, berarti sebagai pengganti Pak-” kawan itu menyebut sebuah nama seorang komandan tentara nonorganik sudah tidak kelihatan lagi lagi batang hidungnya dalam dua hari ini. Tentara itu mengiyakan.
Dan begitulah yang selalu terjadi. Tentara yang baru selalu datang memulai keakraban dengan kami, sedangkan yang lama pergi begitu saja tanpa salam perpisahan. Apakah itu memang karena perpindahan mereka selalu tergesa-gesa, atau memang tiba-tiba ia tak kembali lagi untuk selama-lamanya dari kawasan pertempuran di pergunungan atau di daerah pesisir.
***
Suasana warung agak ramai malam ini. Beberapa pemuda ikut nimbrung duduk melingkari meja. Namun mereka biasanya datang, duduk, memesan kopi, berbicara sebentar-untuk menunjukkan pada pelanggan lainnya bahwa mereka juga akrab dengan tentara itu-kemudian mohon permisi. Lagi pula, duduk lama pun hanya terbengong-bengong saja di situ, tak banyak yang bisa mereka bicarakan.
Selain aku dan Pak Hamidi, teman-teman kami umumnya kurang suka berbicara jika itu berlangsung dalam bahasa Indonesia. Sebab, dalam pembicaraan dikhawatirkan terselip tanpa sengaja satu-dua bahasa Aceh, dan itu akan ditiru oleh teman-teman lain, diulangi, dan ketika tentara-tentara itu pergi akan menjadi bahan tertawaan antara sesama. Hal ini akan membuat si korban menjadi bulan-bulanan, akan bikin dia terbego-bego sepanjang malam, bahkan hingga esok harinya, atau di hari-hari lain seandainya ada kawan yang tiba-tiba mengingatkan peristiwa keseleo lidah itu.
Aku dan Pak Hamidi tetap duduk-dan selalu begitu-sejauh tentara itu masih kerasan karena kami berdua merasa sebagai tuan rumah baginya. Sebagai tentara yang baru seminggu bertugas di kecamatan kami, ia belum banyak mengenal orang setempat. Kalau pun ada satu dua yang sudah ia kenal namun belum tentu ia percayai sebagai orang-orang yang sama sekali tidak berbahaya.
Kiranya sudah lama juga kami berbicara ketika tentara itu hendak pergi ke kamar kecil di belakang warung. Dia langsung pergi tanpa membawa senjata. Dan AK-47 itu hanya diletakkan di atas meja kopi. Sebenarnya aku ingin segera berseru, bawa saja senjatanya sekalian ke kamar kecil, tapi entah bagaimana, hal demikian rasanya tidak enak. Dan selama tentara itu masih di kamar kecil, kami saling berpandang-pandangan.
Kami memang yakin, AK-47 itu pasti dalam kondisi terkunci dengan rapi. Tapi ada peristiwa yang nyaris tiap hari terjadi di kecamatan-kecamatan lain yakni tentang para pemuda kampung yang nekad merampas senjata tentara, membuat kami menganggap teman baru kami itu terlalu gegabah atau terlalu berani atau memang dia percaya pada kami. Atau mungkin, diam-diam, sejak tadi beberapa anak buahnya sedang berada di suatu sudut tertentu di los pasar dekat warung dan mengawasi kami dengan mata mereka yang tak berkedip.
Oh, aku dan Pak Hamidi sangat ketakutan malam itu. Soalnya di antara kami ada seorang teman yang meskipun dia terlihat akrab dengan tentara, tapi kami tahu persis, jauh di lubuk hatinya dia adalah seorang pemuda berjiwa pemberontak. Kami tahu persis itu. Pemuda yang aku maksud ini, punya ikatan kekeluargaan dengan seorang tokoh gerilyawan. Lagi pun, malam itu, tentara itu keluar ke pasar tanpa dikawal anak buahnya – terlepas bahwa ada kemungkinan anak buahnya bersembunyi di kegelapan los pasar di seberang sana untuk melindungi komandannya. Dan teman kami yang berjiwa pemberontak ada di dekat senjata tanpa tuan.
Ya ampun. Saya dan Pak Hamidi tiba-tiba berkonsentrasi penuh pada gerak tubuh si teman. Bila sedikit saja ada gerakan yang mencurigakan, kami akan segera beraksi untuk melindungi senjata itu. Sebab, kalau ia sempat membawa lari senjata itu, bukan tidak mungkin, semua warga yang tinggal di sekitar pasar akan terkena getahnya, akan ada pembakaran, akan ada pembunuhan. Akan tiba truk-truk reo dari kesatuan-kesatuan lain. Apalagi kami kelompok pemuda di pasar ini, pasti semua akan mati, minimal akan mengalami cacat tubuh.
Tapi syukurlah, sebelum semua itu terjadi, tentara itu kembali dari kamar kecil. Ya, aku masih ingat. Saat itu tahun 2003. Di mana bulan puasa tahun itu merupakan Ramadan paling suram di negeri kami. Tak banyak pemuda yang bertadarus di meunasah karena khawatir keluar malam. Suasana desa-desa pedalaman di kecamatan kami sunyi pada malam hari. Shalat Isya dan Tarawih hanya dihadiri jamaah perempuan dan kaum laki-laki tua. Bahkan beberapa kampung yang berdekatan dengan gunung telah kosong karena penghuninya diwajibkan mengungsi ke lokasi yang ditentukan pihak militer. Kukira, saat itu, setiap jiwa kami adalah jiwa-jiwa yang mati, minimal sangsai penuh was-was.
Dan yang paling kukenang kala itu, saat keesokan malamnya, tentara itu tidak singgah lagi di warung kami. Dan kami tahu ia tak akan singgah lagi untuk selama-lamanya. Dan aku segera terkenang Idul Fitri yang sepi di Pulau Jawa, yang harus dijalani anak-anak dan istrinya dengan penuh nelangsa. Juga sebagaimana Idul Fitri yang sunyi yang harus dijalani anak-anak dan istri temanku, Hanafiah.
(Kembang Tanjong, Juni 2014)
* Musmarwan Abdullah, adalah sastrawan kelahiran Pidie. Buku kumpulan ceritanya yang telah terbit, Pada Tikungan Berikutnya (Lapena, 2007). Cerpen ini dikutip dari Serambi Indonesia edisi Minggu, 6 Juli 2014.