Sosok 

Hasbi Burman: Penyair yang Mantan Tukang Parkir

OLEH: Mustafa Ismail | @musismail

Ini adalah bait puisi Hasbi Burman, penyair Aceh, berjudul “Suatu Malam di Rex”. Rex yang digambarkan dalam sajak itu adalah sebuah tempat terbuka beratap langit, diapit toko-toko dan hotel di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Tempat itu sangat akrab bagi warga kota itu untuk bersantai, sembari menikmati makanan dan minuman yang dijual di sana.

Sekarang, Rex tidak ada lagi, lebur dihantam tsunami. Hasbi sendiri, ketika bencana menghantam kota itu, sedang berada di rumahnya di Blang Bintang, jauh di pinggiran kota hingga tak tersentuh tsunami.

Pada Sabtu (25/12) malam itu, Hasbi memilih pulang ke rumah. Ia tidak ikut Musyawarah Dewan Kesenian Aceh di Taman Budaya, Banda Aceh, yang saat itu masih berlangsung. Rencananya, dia akan datang lagi keesokan harinya. Apa mau dikata, kota telanjur porak-poranda.

Hari-hari ini, Hasbi tak terlihat lagi di area itu. Sebelumnya, ia sering menghabiskan malam di Rex. Mulanya ia bekerja sebagai petugas parkir di sana, yang dilakoni selama sembilan tahun. Setelah mempesiunkan diri sebagai penjaga kendaraan, ia tetap melewatkan malam-malamnya di Rex.

Setelah larut malam, Hasbi meninggalkan Rex. Biasanya ayah tujuh anak ini tidak langsung pulang ke rumahnya di Blang Bintang, yang letaknya tak jauh dari Bandara Iskandar Muda. Ia lebih senang menginap di meunasah di kompleks Taman Budaya Aceh, Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Maklum, kalau sudah malam, tak ada angkutan yang bisa membawanya pulang.

Rex nyaris identik dengan Hasbi. Tak heran kalau sebuah harian nasional pernah menjulukinya sebagai Presiden Rex. Julukan itu tetap bertahan sampai sekarang. “Presiden seumur hidup,” kata Hasbi. Memang, di situlah dia melahirkan sebagian besar puisinya.

Di Rex, Hasbi memang tidak sekadar nongkrong, tapi berdialog dengan siapa saja. Mulai masyarakat biasa, penjual makanan, mahasiswa, wartawan, seniman, sampai pejabat. Dalam bergaul ia memang tidak membeda-bedakan usia, pangkat, dan jabatan. Lebih dari itu, Hasbi paling doyan bercanda.

Tak mengherankan jika ia dikenal oleh banyak kalangan di Banda Aceh, termasuk petinggi-petinggi daerah. Ketika masa Gubernur Ibrahim Hasan, ia dipercaya mengkoordinasi penerbitan buku antologi puisi penyair-penyair Aceh. Dari sana kemudian lahir antologi puisi Sosok.

Lahir di Calang, Aceh Barat, pada 1944, sosoknya terlihat unik. Berperawakan jangkung, rambut ikal, dengan kumis tebal. Kulitnya mulai terlihat mengeriput. Penampilannya sangat merakyat. Bahkan terkesan kurang rapih. Kesukaannya mengenakan lengan pendek bermotif batik.

Di lingkungan sejawatnya, dia dikenal sebagai penyair otodidak, bukan lulusan universitas. Pendidikannya pun hanya sekolah rakyat. Ia belajar lewat bacaan dan pengalaman. Dari situ namanya berkibar. Hasbi menjadi salah seorang penyair berpengaruh di Aceh. Hingga kini, ia tetap produktif. Ke mana-mana selalu menenteng kertas dan pena.

Yang menarik, puisinya banyak dipublikasikan di media cetak Aceh. Namun, sejauh ini ia belum menerbitkan kumpulan puisi pribadi.

Sejumlah puisinya bisa ditemukan di hampir semua antologi puisi yang pernah terbit di Aceh, antara lain Sosok, antologi puisi Banda Aceh, dan antologi sastra Putroe Phang.

Puisinya juga dapat ditemukan dalam antologi sastra Aceh, Seulawah, yang diterbitkan Yayasan Nusantara, Jakarta (1995). Beberapa karyanya termuat dalam beberapa buku antologi sastra yang terbit di Malaysia. Hasbi memang kerap diundang dan menghadiri berbagai pertemuan sastra, antara lain di Malaysia.

Penyair L.K. Ara melihat sosok Hasbi sebagai penyair yang punya ciri khas tersendiri dibandingkan penyair Aceh lain. “Sajak-sajaknya khas,” kata L.K. Ara. Sajak-sajaknya sangat dekat dengan alam. Itu bisa dilihat dari suasana dan diksi yang digunakan, seperti laut, angin, dan sebagainya. “Seperti pengembara yang dekat dengan alam.”

Di mata L.K. Ara, seniman yang satu ini cepat akrab dengan siapa saja. Kalau ketemu, katanya, ia tidak memanggil dengan nama. “Dia menyapa saya dengan bait-bait puisi saya,” ujarnya. Dan itu, menurut Ara, tidak hanya kepada dirinya, juga kepada orang lain. ***

Sumber: Koran Tempo, 9 Januari 2005

Berita Terkait

Leave a Comment